Chapter 31

11K 404 3
                                    

Daffa menatap dua bungkus makanan di depannya. Jika bisa menjerit, ia akan menjerit saat ini juga.

"Aku panggil pelayan dulu." Baru saja Daffa melambai, Dira langsung berdiri untuk menahannya.

"Kamu gimana sih? Terus makanannya kita apain?"

"Kasih pelayan."

"Makan gituan aja gak kuat. Kalau kamu nikah sama aku, kita punya anak terus tiba-tiba jatuh miskin kamu bakal pergi karena gak biasa miskin?"

Daffa menggeleng kuat. Ia tidak akan mungkin melakukan hal sejahat itu.

"Bayangan kamu terlalu jauh."

"Bukan ngebayangin, harusnya kamu belajar dari sekarang. Udah yah, makan." Daffa memutar kedua bola matanya dengan kesal dan kembali duduk. Ia kembali memandangi nasi putih berlauk seadanya.

"Kamu yakin?" Tanya Daffa.

"Yakin." perlahan tangan putih mulus itu bergerak. Menyentuh sebiji nasi lalu memakannya.

Cukup!! Dira juga manja tapi tidak semanja Daffa.

Dira mengambil sendok lalu menyendokkan makanan itu kedalam mulut Daffa.

"Kunyah baik-baik. Kalau cuma sebiji, yang ada kamu mati."

"Ucapan kamu." Daffa mengunyah makanannya datar tanpa ekspresi apapun. Makanan itu tidak seburuk yang di bayangkan. Sama saja seperti apa yang ia makan sehari-hari.

"Gimana enak?" Dira mengedipkan sebelah matanya.

"Biasa aja."

"Kusentil ginjalmu mas." Daffa tertawa begitu Dira menyentil pinggangnya. Kali ini tawanya mungkin sangat keras sampai membuat beberapa pelayan berhenti dari pekerjaan mereka.

Dira terpaku pada apa yang menjadi fokus kedua matanya. Daffa, pria itu tertawa sekarang.

"Nah kan ganteng kalau gitu" gumam Dira.

"Aku naik dulu." Daffa menghentikan tawanya kemudian pergi begitu saja. Bagaimana bisa ia sebodoh itu didepan semua orang, menampakkan apa yang sebelumnya tak pernah ia tampakkan.

"Baru aja seneng, eh dibikin kesel lagi," rutuk Dira.

"Vanyaaaa. Kamu beresin semua ini yah." Vanya mengangguk patuh lalu mengambil dua piring kotor. Sejenak ia terpaku pada isi piring itu, hanya ada nasi dan lauk seadanya.

"Tuan Daffa makan ini?" tanya Vanya pada dirinya sendiri. Sedikit tidak percaya dengan apa yang di lihatnya.

Dira mengejar langkah panjang Daffa, terasa sangat sulit tapi ia akan berusaha. Daffa berjalan menuju kamarnya, tidak peduli pada setiap panggilan yang di lontarkan Dira.

Dira masuk kedalam kamar Daffa, mengabaikan pandangan para pelayan yang kebetulan lewat. Saat tangannya terulur untuk kembali menutup pintu, Daffa tiba-tiba saja menarik tangannya hingga terbaring di king size. Ia kaget tentu saja, matanya seakan hendak melompat keluar.

"Kamu bikin saya kehilangan kesabaran yah." Dira semakin mundur saat Daffa melangkah maju dan naik ke atas ranjang.

"Ka.. Kamu ma.. Mau ngapain??"
Dira berbalik, jika ia mundur sekali lagi maka memungkinannya adalah terjatuh. Tangannya menyentuh ujung King size.

"Daff tunggu selesai nikah aja yah." Daffa mengernyit. Sejauh itukah pikiran konyol Dira terhadap dirinya.

"Jangan mimpi kamu, aku cuma mau lemparin ini." Daffa mengambil guling dan memukulkannya ke wajah Dira. Tidak keras, tapi mampu membuat kemarahan meningkat.

Setelah puas melihat wajah Dira yang merah, Daffa langsung tertawa dan bersiap turun dari king sizenya. Namun, siapa yang menyangka Dira akan menarik tangan Daffa hingga membuat Daffa kehilangan keseimbangan dan terjatuh menimpa tubuh mungil Dira. Mereka sama-sama terdiam dengan posisi menjijikkan itu, menatap satu sama lain antara percaya tidak percaya. Drama ini sama persis dengan Novel yang sering Dira baca, dimana jika bukan wanita yang terjatuh menimpa pria maka pria lah yang terjatuh menimpa wanita.

Dira yang sadar lebih dulu langsung mendorong dada Daffa agar menjauh darinya.

"Kamu modus banget yah."

"Tapi kamu suka." Ucap Daffa sambil menggulung lengan kaosnya. Berkesan santai seakan tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Yah memang tidak terjadi apa-apa.

Dengan seribu rasa kesal di hati, Dira langsung pergi begitu saja. Kalau bukan karena rasa cintanya pada Daffa, sudah pasti Dira akan melenyapkannya saat ini juga.

Kepergian Dira mengukir sebuah senyum di wajah Daffa. Kejadian barusan entah kenapa menimbulkan rasa aneh di sekitar dada. Menatap wajah Dira sedekat itu membuatnya seakan pergi entah kemana.

"Terbayar sudah." Gumam Daffa sambil membaringkan tubuhnya. Persetan dengan kemarahan Dira. Lihat saja nanti, Dira sendirilah yang akan kendatanginya.

Dengan mata terpejam Daffa menyambar handphone yang tergeletak begitu saja dan mengabai. Belum sempat ia membuka mata satu pesan masuk disertai panggilan yang namanya tidak tertera di layar.

"Halo??"

"..."

"Jangan main-main"

"...."

Tiba-tiba saja dahi Daffa di penuhi keringat dingin. Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Tak lama setelah panggilan itu terputus, Dira mendorong pintu kamar Daffa dengan sangat keras. Wajahnya pun tak kalah pucat.

"Aku yakin kamu juga tahu." Suara Dira sedikit bergetar. Takut menjadi sahabat di dalam benaknya sekarang.

melihat diamnya Daffa menimbulkan rasa kesal di hati Dira.

"Bodoh!!! aku pergi sendiri, terserah kamu mau ikut atau nggak."

My Cold Man [END√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang