Suara derap sepatu yang menggema ke seluruh lorong membuat beberapa pasang mata menatap ke arahnya. Mereka yakin bahwa orang itu adalah salah satu keluarga pasien yang tengah terbaring di rumah sakit ini. Daffa dan Dira, saat ini mereka menjadi pusat perhatian.
Begitu salah satu perawat melewati mereka, Daffa langsung menghentikan langkahnya dan bertanya dimana ruangan pasien bernama Helena Damarion. Perawat yang kebetulan keluar dari ruangan pasien bernama Helen itu langsung menghantar Daffa dan Dira ke sana.
"Daff." Dira tidak tega melihat bagaimana wajah takut Daffa saat melihat dokter yang keluar dari ruangan Helen dengan alat medis bergantung di lehernya. Daffa bahkan tidak sanggup berdiri di depan pintu.
"Anda keluarga pasien?" Daffa tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya terdiam.
"Ada apa sama Bunda saya dok?" Tanya Dira khawatir.
Dokter itu nampak menggigit bibir bawahnya. Melihat nama belakang pasien Helen mendadak ia merasa takut jika di berhentikan bekerja dari rumah sakit ini. Sial, kenapa harus dirinya yang menangani pasien itu.
"Dokter??"
"Saya minta maaf, pasien selamat dari kecelakaan itu ta... Tapi," gugupnya.
Jujur saja, Daffa tengah menahan rasa kesalnya karena di buat penasaran.
"Pasien mengalami kelumpuhan. Kedua kakinya tidak bisa merasakan apapun."
Apa yang di takutkan dokter itu benar terjadi. Daffa yang tidak terima langsung saja memakinya dengan alasan tidak becus menangani pasien. Bahkan jas putih yang di kenakan Dokter itu ia tarik lalu hempaskan kebelakang.
"Daffa kamu jangan salahin mereka," bujuk Dira selembut mungkin namun justru mendapat balasan bentakan.
"KAMU LIHAT KONDISI BUNDA? MEREKA GAK BECUS."
"Sadar, ini takdir bunda. Mereka cuma bisa melakukan semuanya dengan usaha, selebihnya? Tuhan Daff."
Daffa tidak bisa lagi mendengar ucapan Dira yang terus saja membela. Dengan kemarahan ia langsung masuk untuk menemui Helen. Wanita itu sekarang terbaring lemah di atas kasur sempit dan keras dengan berbagai alat medis di tubuhnya. Pemandangan ini tak kuasa untuk di pandang.
Dari belakang, Dira hanya bisa menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia berjalan dan menyentuh pundak Daffa, berusah memberi kekuatan. Melihat air mata yang mengalir dari sudut mata pria itu membuat Dira dengan sangat berani memeluk Daffa dan memintanya agar menumpahkan apa yang tertahan.
"Kamu baru aja ceritain fakta tentang bunda dan.... Dan se... Sekarang???"
Dira Mengelus punggung Daffa. Bahkan untuk berucap pun ia sudah tidak mampu.
"Aku belum minta maaf tapi bunda udah kayak gini. Karma kali yah buat aku."
Dira merasakan air mata Daffa membasahi lengan bajunya. Menangislah untuk ibumu Daffa, batin Dira.
"Huss kamu apa-apaan sih? Bunda selamat itu udah kebahagiaan banget. Kamu tunggu bunda sadar dulu terus minta maaf yah?"
Daffa mengangguk kemudian melepas pelukan Dira. Ditatapnya wajah gadis cantik yang membuatnya sedikit kuat itu. Apakah ia harus mengakui bahwa mendapatkan Dira adalah kebahagian yang nyata sekarang? Bahkan Dira mampu menyalurkan kekuatan dalam kelemahan . Mampu menyadarkan saat semua orang tak mampu menjelaskan.
"Aku mau kamu terus di sini." Dira mengernyit heran dengan apa yang Daffa ucapkan.
"Maksud kamu."
"Aku mau kamu ada di samping a...."
"Bunda sadar." Ucapan Daffa terpotong dengan pekikan keras Dira.
"Bunda??" panggil Daffa dengan lembut.
Perlahan mata Helen terbuka, matanya menyipit dan sedetik kemudian berteriak lantang begitu merasakan ada yang aneh disekitar kakinya. Daffa memeluk kepala Helen dan ikut menangis, ini salahnya karena tidak bisa memperhatikan Helen di usia lanjut.
Helen memukul lengan Daffa sambil menunjuk kedua kakinya. Ia berharap Daffa dapat mengembalikan semuanya.
Tapi
Itu adalah kemustahilan di mana hanya tuhan yang bisa melakukan.
"Da.. Daffa minta maaf bun. Daffa terlalu egois, Daffa terlalu nyalahin bunda."
Dira mengalihkan pandangannya keluar jendela. Ini adalah perbincangan yang tidak seharusnya ia dengarkan. Bahkan setelah mendengar dan melihat bagaimana Daffa mengungkapkan penyesalannya, ia sudah sangat bahagia.
Dira hendak pergi namun tangan Helen menahan langkahnya. Dengan kode gelengan kepala, Helen berusaha menahan agar ia tetap berada di sini.
"Bunda ngomong dulu sama Daffa yah," ucap Dira dengan sangat lembut. Tangannya mengelus punggung tangan Helen.
"Bunda takut, kamu di sini aja sama Daffa yah??" Dira beralih menatap Daffa yang mengangguk, anggukan yang artinya ia harus berada di samping Helen.
"Bunda mau maafin Daffa?" Tanya Daffa.
Helen menatap haru pada Daffa, di sentuhnya kedua pipi yang sudah beberapa tahun tidak pernah ia sentuh. Mata redupnya tak kuasa lagi menahan air mata hingga terpaksa mengalir.
"Bunda yang minta maaf sayang, bunda gak bisa jadi ibu serta istri yang baik buat kamu dan ayah kamu." Daffa menggeleng. Baginya Helen adalah wanita yang sangat berjasa. Dirinyalah yang tidak melihat semua itu, bukan tidak melihat tapi memang tidak pernah ingin untuk melihat.
Disela-sela pelukan Helen dan Daffa, Dira hanya bisa terdiam di balik senyumannya. Tak ada lagi sikap saling dingin, kini mereka menyalurkan kehangatan satu sama lain.
Helen merentangkan tangan kanannya seakan meminta Dira untuk ikut bergabung. Dira yang heran hanya bisa diam tanpa merespon ajakan Helen.
"Kalau di suruh orang tua itu patuh." Daffa kemudian menarik tangan Dira kedalam pelukannya bersama Helen.
Biarkan seperti ini dulu dalam waktu panjang. Itu harapan Dira sekarang saat dimana ia merasakan pelukan Daffa untuk yang kesekian kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END√]
RomanceJangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. Aku mengakui ini karena aku sudah merasakannya. Tentang dia yang terlihat dingin namun pada kenyataan...