Dira berusaha mengatur nafasnya agar lebih stabil. Cuaca yang mendung menambah rasa canggung untuk tangannya mengetuk pintu. Diliriknya kanan kiri berharap tidak ada satupun orang yang melihat.
"Ketuk gak yah, semoga aja pelayan pada libur." Dira menatap pintu yang berada di depannya. Tak lupa membaca nama 'AlDaffa Damarion' di bagian atas.
Yah, Dira berada di mansion Daffa karena yakin bahwa pria itu pasti berada di dalam. Tidak mungkin Daffa pulang kerumah Helen tanpa membawanya.
Tidak mungkin
Tok.... Tok.....
Tidak ada jawaban dari sang pemilik, ketukan itu berlangsung tiga kali dan kata orang, jika ketukan sudah tiga kali tidak mendapat respon ada baiknya pulang dan menunggu lain waktu. Namun sayang, Dira tidak melakukan itu, ia justru masuk tanpa harus menunggu.
Setelah berhasil masuk, Dira melihat Daffa duduk dengan pandangan menengadah keatas langit-langit mansion. Memang indah, interior uniknya selalu membuat siapapun takjub terutama ia saat pertama kali menginjakkan kaki ketempat ini. Perlahan kakinya melangkah, walau terasa berat ia akan terus mencoba. Sekarang waktunya sadar bahwa apa yang ia lakukan tadi adalah sebuah kesalahan besar dimana ia tidak hanya menyakiti hati Daffa, tapi juga hatinya dan hati semua orang. Jika maafnya tidak di terima Daffa maka itu adalah resiko, mental hati harus kuat menerima apapun sekarang.
"Daff..."
Tidak ada jawaban. Bagi Dira ini memang pantas untuk ia terima karena berbuat tanpa harus berpikir lebih dulu.
"Daffa?"
Panggilan kedua bernasib sama dengan panggilan pertama. Di panggilan ketiga, Dira berharap Daffa mau berbalik dan menatapnya. Walau dalam hati ada sesuatu yang mengatakan....
Tidak mungkin.
"Daffa??"
Benar sekali hati ini, Daffa tidak berbalik untuk melihatnya sama sekali. Semarah itu kah dia? Entah kenapa Dira merasa sangat sedih sekarang, padahal tidak hanya hari ini Daffa sering mengabaikannya tapi juga dihari-hari yang telah berlalu.
Dira cepat-cepat menghapus air mata yang mengalir tanpa persetujuan lebih dulu. Kenapa sangat cengeng?
"Aku minta maaf." Suaranya terdengar lirih dan bergetar.
"Buat apa?" Pertanyaan Daffa membuat Dira dengan berani mengangkat kapalanya. Dia berusara?
Air mata itu menetes lagi. Sial!!!
Daffa berdiri dan berjalan ke arah Dira. Biarkan seperti ini, setidaknya untuk yang terakhir.
"A... Aku banyak salah." Dira terisak, membuat Daffa harus membawanya kedalam pelukan. Tidak, seharusnya air mata ini tidak boleh nampak kecuali dalam keadaan bahagia.
Daffa melepas pelukannya dan kembali datar. Ia sadar, berharap pada yang bukan milik adalah kesalahan.
"Aku salah... Aku egois... Aku terlalu nyalahin kamu. I... Ini bukan salah kamu." Dira berusaha mengatur nafasnya yang terasa berat.
"Maksud kamu?" Daffa mencoba untuk memahami apa yang menjadi topik Dira, termasuk pada setiap katanya yang menunjukkan sebuah penyesalan.
Dengan pandangan sendu Dira menatap Daffa. Sungguh miris, mata yang dulunya indah sekarang sembab karena tangis.
"Aku gak mau kamu pergi Daff... Gak mau. A... Aku...."
Daffa semakin heran dengan Dira, setiap kata yang ia keluarkan selalu saja terpotong.
"Kamu kenapa??"
"Aku cinta sama kamu... Aku gak mau kamu lepasin aku gitu aja." Dira memukul dada Daffa, ia tidak ingin mengakhiri semuanya.
"Kamu yang akhiri semuanya Dir," ucap Daffa.
"Aku gak mau..." Suara Dira yang kian melemah membuat Daffa tidak kuat untuk diam saja, dirainya gadis itu kedalam pelukan.
Lagi dan lagi
"Gak ada yang melepaskan kamu, kamu yang melepaskan diri kamu sendiri."
Daffa menyentuh kedua pipi Dira. Hal yang sama di lakukan Akil.
"Kamu gak pernah tahu seperti apa aku selama ini. Mungkin dingin dan cuek, tapi apa kamu sadar kalau aku peduli?" Dira menyentuh tangan Daffa yang kini menyentuh kedua pipinya. Ia mengangguk.
"Aku gak perlu romantis buat nyenengin kamu. Aku gak perlu alay buat bahagiain kamu. Yang harus aku lakuin adalah, peduli dan pastiin kesederhanaan aku mampu buat kamu ngerasain pahit manisnya hubungan." Dira sekali lagi mengangguk. Masih dengan air mata yang berderai ia memeluk Daffa.
"Dan asal kamu tahu, aku cinta sama kamu, tidak ada yang sandiwara di sini." Lanjutnya membuat Dira tersenyum.
Dira melepaskan pelukannya, mencari sesuatu yang ingin ia berikan pada Daffa.
"Cari apa?"
"Ini," jawab Dira sambil menunjukkan cincin milik Daffa. Cincin pertuangan mereka.
"Aku pasangin yah." Daffa mengangguk tersenyum. Ia menyerahkan tangannya untuk Dira.
"Nah kan bagus kalau gini." Dira menatap cincin yang melekat di jari Daffa. Kenapa kali ini jauh lebih indah?
"Gak sedih lagi kan?" Tanya Daffa.
Dira dengan secepat kilat mengecup pipi Daffa, tak lupa untuk tersenyum.
"Berani cium aku sekarang?"
"Mau lagi?" Dira tersenyum jail, hal yang paling Daffa benci. Wajah tampannya mendadak datar.
"Diam tapi peduli itu siapa sih." Dira mencubit kedua pipi Daffa, berusaha untuk mengembalikan moodnya.
"AlDaffa Damarion." Daffa membalas cubitan Dira.
"Sakit, kamu cubitnya keras banget," omel Dira.
Prankkkk.......
Daffa tersentak begitupun dengan Dira, mereka tergagap melihat puluhan pelayan berdiri dengan wajah tanpa Dosa. Jangan bilang sedari tadi mereka telah menyaksikan semuanya.
"Kalian dari tadi di sini?" Tanya Daffa tajam.
"Maaf," Jawab mereka serentak.
"Kembali kerja." mereka mengangguk patuh dan kembali berkerja.
"Tumben gak di galakin."
"Hari bahagia aku."
Dira mengambil bantal Sofa dan melemparkannya ke wajah Daffa. Tak mau tinggal diam, Daffa pun membalas.
"Alay banget sih," Teriak Dira.
"Emang situ nggak," balas Daffa.
Dari kejauhan dan kesibukan masing-masing, para pelayan hanya bisa menggeleng. Adakah pasangan segila ini? Jika iya, jangan saling melepaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END√]
RomansaJangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. Aku mengakui ini karena aku sudah merasakannya. Tentang dia yang terlihat dingin namun pada kenyataan...