"Jangan dekatin gue!!! Pergi!! Gue gak mau menambah korban lagi."
Daffa kehabisan akal sekarang. Ia tidak tahu harus berbuat apa agar Dira mau pulang bersamanya.
"Dira tenang, ini aku."
"Iya gue tahu itu lo, AlDaffa Damarion." Daffa menggeleng. Ia tidak menyangka Dira akan berkata seperti itu. Perasaan baru kemarin mereka bersama-sama, tapi sekarang? Seakan ada hal yang akan menjauhkan mereka.
"Dira kamu kenapa?" bentak Daffa.
"Kenapa? Gue mau lo jauhin gue dan keluarga gue. Mulai hari ini gue gak mau lo ada di depan gue. Jangankan seluruh tubuh lo ini." Dira mendorong dada Daffa.
"Jejak kaki lo pun gak boleh ada di dekat gue."
Dira berbalik untuk meninggalkan Daffa, namun dengan cepat Daffa menarik dan memeluknya. Dira sempat berontak namun karena kehabisan tenaga ia pun diam.
"Aku tahu kamu takut. Viona udah gak ada."
"Gue mau lo jauhin gue. Gue gak mau mereka celaka karena ambisi bodoh Viona."
"VIONA UDAH GAK ADA!!!" teriakan Daffa menggema keseluruh ruangan.
"Kamu mau aku jauh dari kamu? Okay, aku jauhin kamu. Tapi sekarang, tolong ikut pulang sama aku."
Dira terdiam. Mengapa sangat sakit mendengar persetujuan Daffa untuk menjuhi dirinya. Benarkah ini akhir dari mereka berdua? Perasaan baru kemarin mereka bahagia merawat Helen, dan sekarang? Semuanya hancur karena penculikan Viona. Tidak bisakah wanita jahat itu menunggu sampai mereka mengungkapkan cinta masing-masing?
Dira mengangguk dan mulai masuk kedalam mobil Daffa.
"Aku bawa kamu ke mansion aku dulu."
"Gak usah, gue punya rumah."
Bantu Daffa bersabar dengan keadaan sekarang, Tuhan.
"Di sana gak aman. Tolong dengarin aku," ucapnya penuh harap. Karena rasa tak tega, Dira akhirnya mengangguk.
"Bunda baik-baik aja?" Daffa mengalihkan pandangannya, ia menatap Dira yang justru menatap jalanan dari jendela mobil. Ternyata kepedulian Dira masih ada meskipun dalam situasi seperti ini.
"Baik, cuma sedikit khawatir."
"Oh."
Daffa menghela nafasnya, berusaha untuk tetap tersenyum.
Sesampainya mereka di halaman mansion, Helen langsung keluar di bantu seorang pelayan. Melihat pelayan itu, mendadak Vanya terlintas dalam pikiran Dira dan Daffa.
"Aku mau kerumah sakit." Dira berlari keluar, mengabaikan Helen yang sangat ingin memeluknya.
Helen menatap Daffa penuh pertanyaan. Apa yang tidak ia ketahui sebenarnya, mengapa Dira ingin pergi ke rumah sakit.
"Nanti Daffa ceritain, Daffa harus nyusulin Dira sekarang."
Awalnya Helen ragu tapi karena rasa khawatirnya pada Dira, ia pun setuju.
Daffa terus berusaha mengejar Dira hingga berhasil menggapai tangannya.
"Lepas ih. Gue mau kerumah sakit jengukin Vanya."
"Iyya, tapi jangan sendiri."
"Ini semua karena gue. Karena gue yang terobsesi sama kegantengan lo itu."
Daffa menutup kedua matanya. Perih begitu mendengar ucapan Dira.
"Ok ini salah aku, andai kamu gak kenal aku mungkin kamu juga gak kenal sama Viona."
Kini giliran Dira yang terdiam.
"Sekarang kamu ikut aku. Kita ke rumah sakit sama-sama."
Daffa langsung menarik tangan Dira untuk kembali. Dira harus mengganti pakaiannya lebih dulu karena sedikit kotor. Setelah merasa siap, mereka langsung bergegas menuju rumah sakit yang alamatnya sudah dikirim oleh Akil.
Diperjalanan keheningan memeluk keduanya, tak ada yang bersuara sedikitpun. Dira memilih diam dengan pandangan lurus kedepan sementara Daffa sibuk menyetir namun sesekali melirik kesamping. Semuanya telah berbalik, Dira terlihat dingin dan Daffa terlihat sangat ingin bersuara.
Sesampainya mereka, Dira langsung turun dan menutup pintu mobil dengan keras. Melihat semua itu, Daffa lagi-lagi hanya bisa menutup mata.
"Sabar Daff... Sabar," Ucap Daffa pada dirinya sendiri kemudian mengejar langkah Dira.
Sepanjang koridor rumah sakit, baik perawat, Dokter, maupun keluarga pasien rumah sakit semuanya menggoda Daffa bahkan ada yang tidak segan meminta nomor telepon miliknya. Karena kualahan dan tidak tahu harus berbuat apa, ia akhirnya pasrah sambil bersandar di tembok rumah sakit.
"Ganteng banget sih, dokter baru di sini yah?" Tanya salah satu perawat dengan gaya alaynya.
Tanpa mereka sadari, sepasang mata kini telah berapi. Bersiap melahap apapun yang menjadi tatapan kebenciannya.
"Permisi," ucapnya dingin, membuat semua yang mengerubuni Daffa terpaksa mundur.
"Anda gak lihat dijari dia ada apa?? Saya harap anda mengerti." Setelah mengucapkan itu ia langsung pergi, masih dengan wajah dan sikap dinginnya.
Daffa tersenyum.
Tentu saja, Dira masih mau membelanya setelah kejadian tadi. Ia bahkan manggunakan status mereka sebagai senjata. Lihat saja, para wanita yang menggodanya langsung pergi karena takut.
"Setelah ini gue mau lo benar-benar pergi dari hadapan gue," Ujarnya yang tanpa sadar membuat Daffa kembali merasakan sesak.
Daffa hanya diam, ia terus berjalan seakan tidak mendengarkan apapun.
"Gue tahu lo denger." Dira menghentikan langkah Daffa sebelum mereka masuk kedalam ruangan Vanya.
"Masuk dulu kedalam Dir, udah sampai.."
"GUE MAU LO JAUH DARI HADAPAN GUE," ucap Dira penuh penekanan.
"Dir.."
"Awalnya cuma sandiwara kan? Jadi gak salah dong kita hentiin semua ini."
Daffa tidak menyangka kalau ternyata Dira masih menganggap semuanya bersandiwara. Ia menggeleng, lalu untuk apa dirinya melamar Dira di halaman belakang mansion waktu itu? Walau tanpa kesan romantis, tapi setidaknya ia tidak bermain-main.
"Aku gak nyangka yah, jadi selama aku ngelamar kamu di halaman belakang mansion, kamu kira itu cuma sandiwara? Haha ya, aku tahu waktu itu gak ada kesan romantis sama seperti apa yang kamu mimpiin." Ucapan Daffa membuat Dira diam membisu. Nafasnya naik turun karena mendapat balasan dari pria yang tadinya berusaha untuk bersabar.
"Tapi asal kamu tahu, aku gak pernah main-main soal lamaran waktu itu. Menghentikan semua ini? Itu mudah buat aku tapi bunda dan semua orang? Thinking." Daffa menunjukkan cincinnya kedepan wajah Dira.
Perlahan namun pasti cincin itu berhasil Daffa lepaskan, membuat Dira harus kuat menahan air matanya agar tidak tumpah.
"Aku lepasin kamu. Lebih baik seperti ini dari pada harus sakit mendengar ucapan kamu yang selalu ingin lepas dari aku," Ucapnya seraya menyerahkan cincin itu pada Dira kemudian pergi.
Dira menangis, air matanya tumpah bersamaan dengan kepergian Daffa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END√]
RomanceJangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. Aku mengakui ini karena aku sudah merasakannya. Tentang dia yang terlihat dingin namun pada kenyataan...