Chapter 30

11.4K 417 3
                                    

Dira masuk kedalam mansion Daffa. Entah kenapa sejak Helen menceritakan semuanya mendadak ia takut untuk bertemu dengan Daffa yang duduk di ruang tamu.

"Apa aja yang dia cerita sama kamu?"

"Masa lalu kamu," jawab Dira dengan santai. Jika Daffa saja sesantai itu kenapa tidak dengan dirinya.

Daffa menatap tajam kearah Dira. Jadi Dira sudah tahu semuanya, tentang kenapa ia tidak bisa akrab dengan Helen. Terlalu baikkah wanita itu hingga mau menceritakan semuanya atau memang sengaja agar pandangan Dira padanya menjadi buruk.

Dira menggeleng begitu melihat senyum tanpa beban dari Daffa. Sepertinya Dira harus bisa membuat Daffa kambali.

"Kamu waktu itu masih delapan tahun kan?"

"..."

"Aku gak maksa kamu buat jawab. Oiya, kamu tahu gak kalau itu bukan sepenuhnya salah bunda??" Dira berjalan ke dapur. Mengambil segelas air dan meminumnya tepat di hadapan Daffa.

"Kamu gak tahu apa-apa."

"Kamu juga gak tahu apa-apa saat itu Daff." Rahang Daffa mengeras. Dira sama saja seperti keluarganya yang lain, mudah terhasut.

"Kamu marah?? Aku nanya sama kamu, apa pernah kamu mencari tahu perihal fitnah sebilang belas tahun yang lalu?"

"Fitnah apa maksud kamu?" Dira tersenyum. Sangat bagus jika Daffa melontarkan pertanyaan untuknya.

"Fitnah perselingkuhan dan fitnah kamu tetang kematian Ayah Damar."

Daffa terdiam. Memang benar ia belum mencari tahu tentang perselingkuhan itu, namun kematian Ayahnya jelas karena Helen.

"Aku tahu sih kamu pasti menganggap kematian ayah kamu karena bunda. Tapi, apa waktu itu cuma bunda yang marah?? Ayah kamu juga kan?? Dua pihak ini sama-sama bertengkar."

Diamnya Daffa membuat Dira semakin gencar berucap.

"Andai yang pergi dan kecelakaan saat itu adalah bunda, apa kamu akan benci sama ayah kamu?"

"Cukup Dira, kamu gak tahu apa-apa."

"Kamu yang gak tahu apa-apa. Yang kamu tahu cuma bunda pembunuh ayah kamu. Kamu udah dewasa, udah 23 tahun. Seharusnya kamu bisa paham semuanya, bunda juga menderita."

"DIRA." kesabaran Daffa sudah habis. Emosi untuk tidak membentak Dira telah pupus.

"Apa? Aku kasih tahu yah sama kamu, bunda di fitnah sama suami dan anak yang dia cinta. Sakit gak??"

"Dia ngebunuh Ayah." Daffa teruduk di sofa. Kedua tangannya menutup wajahnya.

Dira tidak menyangka ucapannya membuat bahu Daffa bergetar. Dengan cepat Dira memeluk tubuh Daffa dan meminta maaf. Ia tidak bermaksud menyakiti, ia hanya ingin Daffa mengerti.

"Bunda Helen tidak ingin ini terjadi Daff. Dia juga sama seperti kamu, dia menderita. Kematian ayah kamu karena takdir."

"Apa aku salah?? Yang aku tahu, seandainya bunda dan ayah gak berantem, ayah pasti masih ada di sini," ucap Daffa. Suara paraunya membuat hati Dira ikut menjerit.

"Kamu gak salah, kamu cuma gak ngerti. Seandainya juga ayah kamu gak nuduh bunda selingkuh semuanya pasti baik-baik aja. Kamu denger aku yah, yang namanya takdir kematian, mau kamu duduk atau apalah pasti kamu akan ikut takdir itu."

Daffa membenarkan ucapan Dira. Ini semua karena rasa sakit hatinya pada kematian Damar. Bahkan untuk mendengar penjelasan dari Helen dan keluarga lainnya saat itu ia jadikan beban hingga enggan mendengarkan. Helen memang tidak sepenuhnya bersalah, ia juga teriris saat mendapatkan fitnah perselingkuhan dari suaminya.

"Perselingkuhan itu?" Tanya Daffa.

"Yang ayah kamu lihat waktu itu adalah Nikel sepupu Bunda dari Jepan." Jawab Dira.

Sungguh bodoh, rutuk Daffa pada dirinya sendiri. Andai waktu itu ia memberi kesempatan pada Helen untuk menjelaskan detail permasalahan, pasti semuanya tidak akan seperti ini, ia juga tidak perlu menyimpan rasa benci.

Malu adalah satu kata yang cocok untuk dirinya. Sejahat itu kah? Sampai Dira lebih mengetahui dari pada dirinya?

"Minta maaf ke bunda gih."

"Aku malu," Ucap Daffa dengan binar kasihan.

"Coba deh kamu bayangin sembilan tahun gak akrab."

"Gak kuat."

Ingin rasanya Dira mencubit kedua pipi Daffa yang begitu menggemaskan saat ketakutan. Baiklah, besok ia akan membawa Daffa untuk bertemu dan meminta maaf pada Helen. Membuat mereka berdua seperti dulu ternyata tidak sulit. Daffa mau mendengarkan dirinya walau tidak dengan keluarganya. Suami idamam memang.

"Kamu udah makan?" Tanya Dira pada Daffa dan di jawab gelengan.

"Aku beli makanan dari warung pinggir jalan, makanannya ada di mobil." Daffa menahan tangan Dira yang ingin mengambil makanan dari dalam mobil.

"Makanan pinggir jalan? Gak mau."

Dira tersenyum. Beginilah jika tidak pernah hidup dalam balutan SMA penuh warna yang suka jajan pinggir jalan, mereka akan merasa enggan untuk mencobanya.

"Aduh Chagi, makanannya itu enak. Aku sering kok beli di sana."

"Papa kamu gak ngasih uang belanja lebih?"

"Sering sih, tapi buat shopping. Lagian dari SMA tuh Wenda suka banget ngajak aku makan di warung sampai ketagihan." Dira mengacungkan dua jarinya di depan Daffa.

***
Maaf baru up, kuota habis. Ini aja pakai hotspot. Miris yakan???

Besok kalau dapat hotspot lagi pasti aku up dah. Gak janji sih, tapi di usahain

My Cold Man [END√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang