Daffa terbangun dari tidurnya. Hal pertama yang ia lakukan adalah menyebut nama Dira, kebiasaan itu ternyata sudah melekat kuat dalam dirinya. Akil yang bangun lebih dulu tersenyum kecut, apakah setiap pagi mereka saling menyapa? Tanyanya dalam hati.
"Tuan? Sttttt." Vanya melambaikan tangannya ke arah Akil. Meminta agar pria itu mau menghampirinya di depan pintu kamar Daffa.
"Apasih?" Tanya Akil dengan kesal.
"Bangunin tuan Daffa, hari ini kita lanjut pencarian." sebelah alis Akil terangkat. Bisa-bisanya Vanya berbicara Nonformal tanpa ijin.
"Gue belum ngasih lo ijin yah." Akil menunjuk wajah Vanya hingga menyentuh dahinya.
"Maaf." Lirihan Vanya membuat Akil semakin kesal. Tidakkah gadis itu melihat king size Daffa kosong? Itu artinya sang pemilik sudah bangun.
"Lo lihat noh, gak ada Daffa kan? Itu artinya dia udah bangun." Akil menyentil dahi Vanya lalu mendorongnya agar pergi. Kalau bukan karena Dira ia tidak akan mau berurusan dengan seorang pelayan.
"Gue udah siap. Eh Vanya mana?" Tanya Daffa. Wajahnya sudah nampak lebih segar.
"Gue suruh keluar. Tunggu dia siap-siap dulu." Daffa mengangguk lalu melemparkan kunci kamarnya kedepan Akil. Tanpa ia ketahui, dari belakang Akil terus saja mengejeknya.
"Dikira gue pelayan apa? Ngunci kamar juga harus gue." umpatnya.
Setelah Vanya siap, mereka langsung pergi. Daffa melaju lebih dulu sementara Akil dan Vanya menyusul dari belakang.
"Kita nyari Dira kemana lagi coba?" Tanya Akil.
"...."
"Woi gue ngomong!!!" Teriaknya.
"Sama saya gitu tuan?"
"Auah cebong mana paham."
Vanya terkekeh. Ia tidak tahu kalau Akil bertanya padanya. Yang ia pikirkan adalah, mana mungkin atasan berbicara pada pelayan. Yah, kecuali untuk kepentingan mendadak.
Daffa segera turun dari mobilnya. Ini sudah tiga jam namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Dira. Kemana lagi mereka harus mencari tanpa pentunjuk.
"Gue takut banget," lirihnya putus asa.
Akil yang semula duduk sambil meminum pop icenya langsung bangkit dan memukul lengan Daffa. Mereka tidak boleh putus asa hanya karena belum menemukan Dira.
"Semangat bro. Cinta masa gitu, yah lo harus semangat." Vanya mengangguk setuju dengan ucapan Akil. Tumben sekali pria itu pintar.
"Yang di bilang tuan Akil benar. Ada cara lain agar bisa menemukan Dira, salah satunya ini." Vanya menunjukkan sebuah kartu yang ada di genggamannya.
Akil yang penasaran langsung merampas kartu itu, kartu nama lebih tepatnya.
"Lo dapat ini dari mana?"
"Dari pintu mobil Dira." Vanya tersenyum, memperlihatkan deretan gigi rapinya.
"Gila lo yah, ini kartu nama bodyguard Viona. Buang aja!!" Akil melempar kartu nama itu kebelakang.
Vanya dan Daffa terbelalak. Ini yang gila adalah Akil.
"LO YANG GILA/LO YANG GILA." ucap Daffa dan Vanya serentak.
Vanya langsung berlari untuk mengambil kartu nama itu. Karena tidak memperhatikan jalan, sebuah motor langsung menyenggol lengannya. Vanya meringis, namun tetap mempertahankan kartu nama itu.
"Ini bukti kalau yang culik Dira adalah Viona. Saya dapat kartu ini auuuuu." Vanya tidak bisa menahan rasa sakit di bagian lengannya. Pengendara tadi bukannya bertanggung jawab atau meminta maaf justru pergi tanpa rasa bersalah.
"Viona?" Tanya Akil
"Iya. Aduh sakit. Kartu ini mungkin jatuh saat mereka nyulik nona Dira." Jelasnya disertai ringisan.
"Kil, lo bantu Vanya buat masuk kedalam mobil."
"Gue???" tunjuk Akil pada dirinya sendiri.
"Iyalah. Gue tahu kemana harus cari Dira. Lo nyusul dari belakang, kasihan Vanya."
Sebelum pergi, Daffa sempat berterima kasih atas kehebatan riddle Vanya. Karena ia, kini Dira akan lebih mudah untuk di temukan.
"Lo kanapa gak bilang dari kemarin sih?" Akil membantu Vanya agar bisa masuk kedalam mobilnya.
"Lupa."
***
"Makan." Viona meletakkan sepiring nasi dengan kasar di hadapan Dira."Gue ga butuh makanan, gue mau lo bawa Revan sama Wenda kedepan gue sekarang." Ucap Dira penuh emosi. Sejak penculikan kemarin, ia belum makan sama sekali.
"Ini yang bikin gue senang. Karena mereka lo gak mau makan." tanpa etika, Viona melempar piring itu ke tembok hingga pecah. Salah satu bodygardnya pun hanya bisa diam.
Baru saja Viona ingin menampar wajah Dira, seseorang menahan pergelangan tangannya. Orang itu menggeleng, ia tidak mau Viona mendapatkan masalah besar karena ini.
"Anda sudah menamparnya puluhan kali Nona, kita bisa terkena masalah karena ini."
"Bodyguard sialan, gue bahkan mau dia mati."
Viona sudah seperti setan sekarang. Akalnya telah hilang karena obsesi ingin memiliki Daffa.
Setelah kepergian Viona, air mata Dira meluncur bebas. Rasa perih di pipi serta hatinya menyatu, ia tidak kuat lagi. Seperti inikah rasanya mempertahankan sesuatu? Seperti inikah rasanya memperjuangkan perasaan? Kau rela mengesampingkan ancaman demi ancaman yang datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END√]
RomanceJangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. Aku mengakui ini karena aku sudah merasakannya. Tentang dia yang terlihat dingin namun pada kenyataan...