Dira menatap dirinya dari pantulan cermin. Dengan hati yang panas Dira terus diam. Kejadian tadi membuat Dira menahan emosi untuk tidak melayangkan tangannya ke wajah Viona, si gadis sialan.
Walau apa yang Viona katakan tidak benar, Dira tetap keberatan. Jadi, andaikan Dira memang gadis bawah apa Dira tidak bisa bersanding dengan Daffa? Yah, Dira akui mungkin itu benar, tapi siapalah manusia yang bisa menebak atau menerka masa depan.
Dira mendesis, tangannya mengepal hendak memukul kaca tapi seseorang dengan cepat menahannya. Dari pantulan cermin Dira tersenyum sinis, tak menyangka orang itu muncul di situasi tak menyenangkan. Dira menarik tangannya dengan kasar dan berbalik.
"Marah bukan solusi," Ucap orang itu.
Dira mengalihkan tatapannya seraya tersenyum sinis. Masih dengan gaun pernikahan. Dira mendekat.
"Seenggaknya ini bisa bikin gue tenang." Detik itu juga Dira berbalik dan memukul cermin.
"DIRAAAA."
"AKIL DIAM."
"GUE TAHU LU PALING GAK SUKA DI RENDAHIN. LO GILA YAH?" Akil berlari mencari sesuatu yang bisa menahan aliran darah di kepalan tangan Dira. Gadis bodoh, rutuknya dalam hati.
Setelah menemukan kain merah, Akil langsung meraihnya dan kembali ke kamar tamu.
"Siniin tangan lo." Akil menarik tangan Dira dan melilitnya. Dira menatap Akil bukan dengan rasa senang tapi kebencian. Baginya Akil dan Viona itu sama, sama-sama menganggap remeh dirinya.
"Muna tau gak?"
Akil menghentikan aksinya.
"Kapan lu bisa dewasa?"
Dira tidak menjawab, ia bangkit dan hendak pergi namun sekali lagi Akil menahannya.
"Apa lagi sih?" Dira sudah di batas kesabaran.
Dengan amarah yang meluap Dira menunjuk wajah Akil dan berucap pedas.
"Ingat yah!! Jangankan lu sentuh, lu tatap pun gue jijik." Setelah mengucapkan itu Dira langsung turun.
"Lu gak bakalan bisa berubah Dir. Entah akan sebesar apa ujian Daffa setelah ini," gumam Akil. Ia mengambil potongan kain merah yang tadi membukus luka Dira.
"Dira sini." Panggil Nayeon saat melihat Dira berada di tengah keramaian.
"Ah, eh iya nanti kak."
Dira merasa bodoh sekarang, ia tersenyum sementara hatinya marah. Hanya satu yang bisa membuat Dira tenang.
Membalas Viona
Dira mengambil jalan keluar melalui pintu belakang. Tak ada satupun orang bahkan penjaga di sana. Setelah tiba di pagar belakang mansion, Dira langsung memasuki mobil miliknya. Dalam hati Dira berterima kasih pada Revan yang sudah mau membawa mobilnya ketempat ini.
"Tunggu gua." Dira tersenyum.
****
Viona melepar gelas yang berisi win. Andaikan gelas itu adalah Dira pasti ia akan merasa sangat senang sekarang.
Hari ini Dira telah merebut berlian darinya. Merebut cinta dan kehidupan yang selama ini ia impikan. Gadis sinting itu sudah menang.
"Gue gak bakal tinggal diam Dira." Viona mengambil gelas baru dan menuangkan win lagi di dalamnya.
"Dan lu pikir gue juga bakal diam?"
Viona tersenyum mendengar suara itu. Suara kebenciannya.
Dira.
Viona bangkit dan berbalik. Benar saja, masih dengan gaun brengseknya Dira berdiri sambil tersenyum miring. Tatapan Viona terpaku pada tangan kanan Dira.
"Gue gak yakin kalau lu menang, Dira."
"Gue gak pernah menang selama gue gak bertarung."
Dira berjalan ke arah Viona. Kini jarak mereka hanya bisa di hitung dengan jari-jari. Viona menyentuh luka Dira dan menekannya dengan kuat. Berharap Dira akan sangat kesakitan.
Dira tidak meringis sama sekali walau ia merasakan sakit yang luar biasa. Darah yang tertutupi itu pun semakin banyak menetes.
"Sakit?" Tanya Viona dengan nada mengejek.
"Lu mau tahu apa itu sakit?" bukannya menjawab Viona, Dira justru balik bertanya.
Plak...
Tangan kiri Dira berhasil menampar pipi Viona. Keras sekali, sudut bibir Viona bahkan mengeluarkan sedikit darah. Dira menarik tangan kanannya dan menampar Viona.
Lagi dan lagi sampai tamparan itu berlangsung lima kali.
Viona kehilangan keseimbangannya. Wajah Viona penuh darah akibat tangan kanan Dira yang saat itu mengeluarkan darah.
"APA LU TAHU? GUE GAK PERNAH SENANG SAMA PENGHINAAN. DAN LU? APA LU UDAH BAIK HAH?"
Viona terjatuh, ia mundur perlahan saat Dira mendekatinya. Dira seperti setan sekarang, matanya begitu menggabarkan kemarahan.
Plakkk...
Sekarang genap. Tamparan itu sudah enam kali Viona dapatkan.
"DIRA."
Dira terdiam sementara Viona tersenyum. Tak jauh dari belakang mereka Daffa berteriak.
"Gue semakin yakin kalau lu gak menang." Viona membersihkan wajahnya dengan kasar sambil menunggu Daffa berjalan lebih dekat.
Daffa melewati Dira dan berjongkok di depan Viona. Tangannya membantu Viona agar bisa berdiri kembali.
Melihat itu Dira hanya bisa terdiam.
"Kamu tunggu di sini," titah Daffa pada Viona. Daffa sempat menatap Dira, namun tatapan itu hanya berlangsung beberapa detik sampai akhirnya Daffa pergi ke arah dapur.
Daffa kembali setelah mendapatkan kain berwarna putih. Ia mencelupkan kain itu ke ember berisi air hangat dan membersihkan wajah Viona.
"Kenapa diam? Kamu gak kuat balas tamparan dia?" Tanya Daffa. Tangannya masih sibuk membersihkan luka di wajah Viona.
Jujur saja Daffa tidak senang mengobati luka Viona di depan Dira. Tapi mau bagaimana lagi, ia kecewa saat tahu Dira bisa berbuat kasar.
"Kenapa diam? Kamu gak niat buat nampar dia sekali lagi?" Dira kaget mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan yang di lontarkan untuknya dari mulut sang mantan.
***
Ada beberapa kesalahan dalam penulisan cerita ini, terutama pada bagian casting. Nama Viona yang kadang di ketik menjadi Liona. Terima kasih untuk yang memberikan kritikan, saya jadi bisa mengubahnya kembali.Viona= √
Liona= x
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END√]
RomanceJangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. Aku mengakui ini karena aku sudah merasakannya. Tentang dia yang terlihat dingin namun pada kenyataan...