Daffa berjalan mengintari ruang tamu. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Dira. Mungkin ia sibuk menata diri agar terlihat lebih cantik.
Daffa terpaksa bergabung di tengah keramaian sampai akhirnya ia melihat Allisa dan Revan.
"Revan, Allisa." Daffa melambaikan tangannya ke udara.
"Eh kak Daffa." Allisa langsung menarik tangan Revan agar pergi menemui Daffa. Revan mendengus, ia sudah seperti kambing sekarang.
Allisa dan Revan berhenti tepat di depan Daffa. Mereka berbincang hangat sambil menunggu Dira turun dari kamar atas. Tinggal setengah jam lagi acara pertunangannya akan segera di mulai. Entah kenapa, Daffa merasa tidak sabar plus deg-degan.
Pantas saja. Ini yang pertama karena sebelum Dira, Daffa belum pernah bertunangan.
Lalu Rena? Rena tidak menginginkan pertunangan, ia menginginkan pernikahan, itulah sebabnya Daffa merasa risih.
"KAK DIRA TURUN," teriak Revan dengan kencangnya. Para tamu yang hadir kaget dan refleks menatap ke arah tangga di mana seorang gadis bergaun putih mulai melangkah turun.
Prok... Prok.. Prok...
Riuh tepuk tangan memenuhi mansion, para tamu berdecak kagum atas apa yang mereka lihat. Itu manusia atau boneka, pikir mereka.
Tak jauh berbeda dengan Daffa, pria itu hanya bisa berdiri sambil terus menatap wajah Dira. Cantik sekali.
"Ya ampun, demi apapun gue baru lihat kak Dira make up." Allisa menganga sambil mencium punggung tangannya sendiri.
Dira benar-benar mengagumkan.
Setelah Dira menaiki panggung pertuangan, Revan langsung mendorong bahu Daffa agar menyusul.
"Hadirin semuanya. Terima kasih telah hadir di acara pertunangan ini. Sebuah kehormatan bagi kami atas waktu anda." Itu suara Gio sepupu laki-laki Daffa. Usia mereka terpaut dua tahun dimana Gio jauh lebih tua.
Helen dengan senyum merekah mulai naik ke atas panggung sambil membawa kotak berisi dua buah cincin. Dira mengernyit, ini bukan cincin yang pernah ia pesan. Di cincin itu terdapat namanya dan nama Daffa.
"Kemarin bukannya gue pilih yang polos?" Batin Dira.
"Baiklah, pertukaran cincin akan segera di lakukan. Untuk Daffa, silahkan pakaikan cincin di jari manis Dira. "
Daffa menatap Helen lebih dulu. Melihat anggukan lembut Helen, Daffa akhirnya mengambil cincin itu dan memakaikannya pada jari Dira.
Suara tepuk tangan kembali terdengar. Dira tersenyum. Kini Daffa telah mengikatnya.
"Baiklah, sekarang giliran Dira," Ucap Gio dengan semangat.
Baru saja Dira mengangkat tangannya untuk mengambil cincin bertuliskan namanya, Viona muncul dari belakang. Benar-benar tidak tahu malu, masih sempat-sempatnya gadis itu hadir setelah di usir beberapa kali.
"Tunggu sebentar."
Daffa berbalik. Hanya dengan wajah datar ia terus menatap Viona. Menunggu apalagi yang akan di lakukan ular itu.
Dira hendak maju menemui Viona, tapi tangan Daffa mencengkram lengannya.
"Lihat CEO terkenal kita ini? CEO yang sangat kaya raya, tidak hanya harta tapi juga pemikiran." Viona tersenyum menatap Daffa dan Dira secara bergantian."Eh ular pergi gak lo," Usir Gio dengan setengah berbisik.
"CEO kita ini ternyata menikahi seorang karyawan biasa. Kebayang gak sih? Kok seleranya rendah banget."
Dira sudah tidak kuat lagi. Tangannya mengepal, andai bukan karena Daffa ia sudah pasti menampar wajah Viona di depan banyak orang.
"Kok rendah sih Daff? Kamu ganteng loh, kamu tuh pantesnya bersanding sama yang SEDERAJAT." Viona menatap Dira. Ia sengaja menekan kata akhir agar terlihat lebih menyindir.
Para tamu mulai berisik, mereka tidak menyangka Daffa bertunangan dengan gadis karyawan biasa. Mereka yakin, bahkan gaji karyawan itu tidak bisa membeli jas yang Daffa pakai.
"Daffa, Mending kamu hentikan semua ini, sebelum akhirnya kamu MENY..."
"STOOOOOP," gertak seseorang.
Allisa dan Dira berbalik. Mereka kenal suara itu, suara sosok yang sangat mereka rindukan.
"Papa?" guman Allisa dan Dira bersamaan.
Aris muncul dari kerumunan, di susul Rafanda dan Regan.
Aris sudah melihat bagaimana Viona berucap pada Dira. Aris tidak bisa lagi berdiam diri saat melihat putri pertamanya di permalukan.
"Kamu bilang apa? Karyawan biasa? Apa yang kamu tahu tentang putri saya? Kamu itu buta. Kamu hanya menilai apa yang kamu lihat, bukan pada apa yang tersembunyi." Aris melangkah ke atas panggung di mana Viona terdiam heran.
Viona mengenal Aris Regano, ia pernah melihat artikel yang bertuliskan nama Aris sebagai pengusaha besar di Milan.
"Anak saya bahkan bisa membeli mulut kamu hanya dengan selembar kertas." Kini bukan Aris yang berucap tapi Rafanda.
Dira tidak bisa lagi menyembunyikan rasa bahagianya. Bukan karena mendapatkan pembelaan, tapi karena ia bisa melihat kehadiran kedua orang tuanya.
"Pa, Ma." Dira berhambur ke pelukan Aris dan Rafanda. Memeluk mereka dengan erat seakan tak ingin melepaskan.
Akibat tidak bisa lagi menahan rasa malu, Viona pergi begitu saja. Para tamu berteriak, bahkan ada yang melempar tissue.
"Makanya jadi cabe itu jangan sok tahu," Sindir Revan begitu Liona melewatinya.
"Diam kamu anak kecil."
"Kecil gini yang penting gak sekecil otak lo." Revan melambaikan tangannya dan pergi.
Viona mengumpat dalam hati. Setelah ini, Viona pastikan Dira tidak bisa di katakan baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END√]
RomanceJangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. Aku mengakui ini karena aku sudah merasakannya. Tentang dia yang terlihat dingin namun pada kenyataan...