Chapter 11

14.2K 558 7
                                    

Dira menatap wajah Daffa yang tengah melamun. Sejak kepergian Viona, Daffa lebih banyak diam.

Dira menghela nafas, dalam hati ia ingin sekali bertanya tentang siapa Viona, tapi melihat keadaan Daffa ia akhirnya memilih bungkam.

Daffa mengacak rambutnya. Sial sekali, kenapa Viona kembali setelah pergi enam tahun lamanya. Pergi tanpa kabar dan kembali tanpa rasa bersalah.

"Maaf." Kata itu sukses keluar dari bibir Daffa.

"Maaf buat apa?" Tanya Dira.

"Viona." Dira tersenyum. Tangannya menyentuh pundak Daffa.

"Kenapa minta maaf Bos, toh saya bukan siapa-siapa. Lagian nih yah, apapun yang kita jalani itu sandiwara." walaupun Dira merasa aneh dengan kalimatnya, ia tetap mencoba untuk berbicara.

"Santai aja Bos, niat saya dari awal kan memang buat bantuin Bos."

Daffa menepis tangan Dira yang dari tadi menyentuh pundaknya. Kepalanya menunduk, tak kuasa menahan beban lagi.

"Saya tahu kamu punya banyak pertanyaan tentang siapa itu Viona." Dira terdiam karena apa yang Daffa katakan memang benar.

"Viona mantan pacar saya. Sejujurnya gak ada kata selesai antara kami, tapi kepergian Viona adalah tanda kalau dia sudah bosan."

Dira masih terdiam. Jujur, dalam hati ia merasa kaget. Ternyata itu alasan kenapa Daffa bersifat dingin pada Viona.

"Dia pergi gak pamit, coba kamu bayangin...."

"Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya." potong Dira. Tangannya menggenggam tangan Daffa tanpa peduli jika Daffa kembali menghempaskan genggaman itu.

"Saya pernah ada di posisi itu Bos. Perasaan tulus dibayar modus. Pergi setelah merasa puas." Dira menunduk. Sebelah tangannya mengepal kuat. Bayangan Akil terlintas dalam pikirannya.

Tapi

Dalam hati Dira juga bertanya apakah Viona adalah alasan Daffa menolak menikah dengan Rena?

"Bos?"

"Hm."

"Apa Viona adalah alasan Bos nolak Rena?" Dira menutup kedua matanya.

"Kamu pikir saya masih mencintai Viona?" Tanya Daffa.

Dira tidak menjawab sama sekali. Matanya masih betah menatap keramik lantai.

"Saya tahu kamu suka sama saya. Kamu gak rela kan kalau saya jawab Iya?"

"Hah? Apa?" Mata Dira terbuka. Menatap Daffa yang tersenyum menggoda.

"Ya atau tidak?"

Dira menghela nafas.

"Ya, siapa sih yang gak suka sama pria setampan bos? Gila kali tuh makhluk."

Daffa terkekeh. Tangannya mengusap lembut pucuk kepala Dira.

"Ada alasan lain dan belum bisa aku bilang sama kamu. Tunggu waktunya aja."

"Cieeee gak kaku lagi bahasanya."

"Mau baku emang?"

"Eh jangan. Jangan baku lagi."

***

Allisa menggeleng melihat wajah Dira yang terus saja mengembangkan senyuman. Entah racun apa yang Daffa berikan selama berjalan bersama kakak perempuannya ini.

"Kak? Senyum aja dari tadi." senyum diwajah Dira menghilang. Ia menatap tajam kearah Allisa. Mengganggu saja.

"Alah, paling abis di cium sama kak Daffa." Tatapan tajam Dira beralih ke Revan. Anak di bawah umur itu mengeluarkan kalimat yang tak sepantasnya.

"Apa? Coba ulang?" Dira merebut handphone Revan dan duduk di Sofa.

Bukannya marah atau merebut kembali handphonennya, Revan justru memeluk tubuh Dira dengan erat.

Dira membalas pelukan Revan. Tampaknya adik manja itu memerlukan kasih sayang sekarang.

"Hiks, aku ndak di peluk gitu?" Allisa memasang wajah sedih melihat kedekatan Revan dan Dira tanpa dirinya.

"Ututtt cini akak peluk juga."

Allisa berhambur kepelukan Dira.

"Kak?"

"Hm."

Dira melepaskan pelukannya dan menatap Allisa.

"Kakak abis diapain sama kak Daffa? Pulang langsung seceria ini?"

"Oooo itu? Gak di apa-apain sih," Jawab Dira.

Mata Allisa menyipit, ada rasa tak percaya didalam kepalanya.

"Kepo banget sih lu anoa," ejek Revan

"Sewo banget sih lu koala," balas Allisa.

"Halah, paling sirik kan lihat kak Dira deket sama cowok sementara lu Jomblo, sendirian, dan penuh penderitaan?"

"Ihhh apa sih? Heh gue gak sendirian yah, ingat manusia itu diciptakan berpasang-pasangan. Gue LDR sama jodoh gue yang gak tahu siapa dan dimana sekarang," Ucap Allisa. Tangannya memukul keras punggung Revan.

"Bocah banget sih hahahahahah"

Ini kesempatan baik untuk Dira melarikan diri. Kedua adiknya saling melempar tatapan tajam. Sebentar lagi rumah ini akan mengeluarkan pekikan maut.

Satu....

Dira mulai bangkit dari duduknya.

Dua....

Dira mulai menaiki anak tangga satu persatu.

Tiga.....

Dira sudah didepan pintu kamar dan segera masuk.

"AAAAAA REGAAAAANNNN SAKITTTTTT."

Astaga. Dugaan Dira memang benar, suara pekikan adik perempuannya langsung menggema.

"RASAIIIIINN." suara Revan tak kalah kerasnya.

"DASAR ADIK KURANG ASEM. LIHAT AJA, BESOK GUE GAK MAU MASAK BUAT LU. BIARIN MATI KELAPARAN."

"EMANG GUE PEDULI? GUE BISA NOH NGUNYAH KERIKIL."

Dira menutup kedua telinganya dengan bantal. Perdebatan Allisa dan Revan mengalahkan toa masjid.

"Gini nih kalau punya adik kurang sehat."

Dira mengambil handphonnya dari dalam tas dan membuka pesan WatsApp. Perlahan jari lentiknya mencari nama 'AlDaffa My Bucin'

AlDaffa My Bucin

Hallo mas
√√

Siapa?

Jahat banget sih mas, masa gak kenal aku
√√

Dira? Berhenti manggil mas

Iyya Dira. Biarin aja mas, romantis loh ini
√√

Terserah
(Read)

Dira tersenyum melihat pesan singkatnya bersama Daffa. Pria dingin itu mulai dekat dengannya tanpa harus berbicara kaku. Dira merasa jadi karyawan yang di istimewakan.

****

Daffa melempar handphonennya ke king size dan berbaring. Pesan Dira membawa senyum diwajahnya. Entah kenapa, tingkah konyol Dira membuatnya seringkali melupakan masalah.

"Konyol, gila, jelek, petakilan, cerewet." guman Daffa.

"Tapi gemesin." lanjutnya dan mulai menutup mata. Berharap fajar akan segera tiba.

My Cold Man [END√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang