Chapter 26

10.5K 382 3
                                    

Dira berjalan menuju meja Wenda. Map yang di berikan Daffa masih dalam pelukan hangatnya. Saat beberapa karyawan menyapa, Dira hanya bisa membalasnya dengan anggukan.

"Wen... Ada beberapa file yang perlu di cek." Wenda mengernyit. Kenapa harus dirinya.

"Kok gue? Lo kan bisa ngurusin ini sendiri," Ucap Wenda.

"Gue mau ke atas lagi. Tahu lah, buat ketemu my Chagi." dengan sangat terpaksa Wenda merebut map itu. Tangannya melambai seakan mengusir Dira untuk enyah.

"Makasih loh bebeb emmes kuh."

"Omes maksud lo!!!"

Dira tak mau memperpanjang debat. Ia langsung naik untuk menemui Daffa.

Sesampainya di depan ruangan Daffa, tiba-tiba saja tangan Dira mengepal. Tatapannya terpaku pada Viona si gadis cabe. Dira hendak melangkah masuk namun otaknya memberi pencerahan agar tetap diam menyimak.

"Daff, aku minta maaf."

"Keluar sebelum Dira datang."

Dira tersenyum. Ternyata Daffa masih mengingat dan menjaga perasaannya. Baper tingkat Dewi Medusa.

"Kenapa kalau dia datang? Kamu gak bakalan mati kan?" Viona tersenyum sinis.

"Mau kamu apa?" kali ini Daffa menggunakan emosi. Setiap kata yang ia ucapkan penuh penekanan.

"Kamu." jawab Viona dengan santainya.

Viona sengaja datang menemui Daffa. Seperti yang pernah ia bilang, ia tidak akan menyerah untuk meyakinkan dan mendapatkan Daffa kembali. Terlebih saat mengingat saingannya hanyalah tikus putih tak berguna semacam Dira.

Di balik pintu, Dira hanya bisa diam menyimak. Walau tangannya mengepal, senyum di wajahnya tak pernah hilang. Viona memang hebat dalam mempertahankan apa yang menjadi keinginannya.

"Jangan bodoh Viona."

"Kamu yang bodoh."

Baiklah, mungkin ini saatnya Daffa mengunci mulut Viona.

"Aku yang bodoh?? Boleh kamu menerawang beberapa tahun yang lalu?? Saat dimana kamu pergi tanpa mikirin akhir buruknya??" Daffa duduk santai di sofa. Matanya menatap ke arah pintu.

"Dira masuk."

Dira menutup mulutnya begitu mendengar suara berat milik Daffa. Dari mana pria itu tahu kalau dirinya ada di depan pintu.

Dengan kikuk Dira mendorong pintu dan masuk.

"Hehe.. Aku ma.. Mau masuk tap..."

"Duduk di sana!!" Daffa menunjuk meja kerjanya.

Melihat wajah dingin Daffa, mendadak Dira takut untuk mengeluarkan ekspresi apapun, apalagi senyuman. Dira langsung patuh, ia berjalan ke meja Daffa lalu duduk.

"Kamu ngapain nyuruh dia masuk? Aku mau kita ngomong berdua." Viona melipat kedua tangannya di depan dada. Kedatangan Dira membuat susana mendadak semakin panas.

"Yeee serah gue dong yah. Ini kantor tunangan gue." Tak terima dengan ucapan Viona, Dira akhirnya angkat bicara.

Mereka saling menatap satu sama lain. Sangat tajam hingga membuat Daffa sendiri merasa takut.

"Lagian buat apa lo datang kesini? Masih berharap?? Aduh harga diri mbak," ejek Dira. Ia berjalan ke arah Viona tanpa memperdulikan Daffa yang mencegahnya.

Viona tidak bersuara sama sekali. Baginya menanggapi Dira adalah hal terbodoh. Viona menyambar tas miliknya lalu pergi melewati Wenda yang entah sejak kapan berdiri di depan pintu. Wenda menggaruk tengkuknya akibat salah tingkah.

"Gue gak denger apa-apa serius. Gue cuma mau mgasih file ini. Ada beberapa yang belum bos tanda tangani." Dira melirik Daffa.

"Emmm untung ada ellu kan. Coba kalau gue, pasti gak ketahuan mana yang udah dan mana yang belum." Dira mengambil map itu dari tangan Wenda dan memberikannya pada Daffa.

Merasa canggung dengan suasana hening, Wenda akhirnya pamit untuk keluar dengan alasan masih banyak pekerjaan yang belum terselesaikan.

Kepergian Wenda tidak mengubah situasi, masih hening. Daffa sibuk memainkan handphonenya sementara Dira sibuk melamun.

"Aku sebenarnya gak suka sama dia." Daffa mengalihkan pandangannya, Ia menatap Dira.

"Siapa?" Tanya Daffa.

"Viona, siapa lagi? Aku yakin dia bakalan datang lagi."

"Kamu takut?" Dira yang semula hanya menatap keluar jendela kini menatap Daffa tajam. Pertanyaan itu semacam ejekan untuknya.

"Pikirin sendiri!!"

Dira dengan sinis keluar dari ruangan Daffa. Tak sadarkah pria itu bahwa dirinya cemburu melihat Viona yang terus saja ada? Yah ia takut, takut jika Viona berhasil.

"Salah lagi?" Tanya Daffa pada dirinya sendiri. Dira memang aneh, terkadang manis, perhatian, cerewet, dan yang paling seram adalah emosian.

Tidak mungkin efek PMS yang hanya datang satu atau dua kali dalam sebulan sementara mood Dira bisa berubah satu sampai seratus kali sehari.

Daffa meletakkan handphonenya untuk mencari Dira. Diam bukanlah hal yang baik, dirinya harus meyakinkan Dira bahwa setelah ini, Viona tidak akan pernah muncul lagi. Sekalipun Viona muncul, itu bukan untuk menghancurkan.

Daffa mendatangi meja Wenda terlebih dahulu. Tempat pertama yang paling sering Dira datangi saat di kantor.

"Wenda, Dira mana?" Tanya Daffa.

Wenda tersentak saat itu juga. Tidak menyangka bahwa Daffa akan datang.

"Sa... Saya gak tahu Bos." Jawab Wenda dengan sedikit ragu. Sebenarnya ia melihat Dira keluar tapi mulutnya tidak mau menjawab itu, mungkin efek kaget.

"Terima kasih." Daffa langsung pergi meninggalkan Wenda.

"Tuh bocah bener-bener yah. Ckckck, pasti bikin ulah lagi." Wenda mengeluarkan handphonenya untuk menghubungi Dira.

***
Tadinya pengen masang foto Dira tapi
Memoriku tiba-tiba keformat sama adik sendiri😪😪😪 kan sedih

My Cold Man [END√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang