Wenda menatap Dira dan Daffa yang tengah berjalan beriringan keluar kantor. Mereka berdua terlihat sangat akrab, sesekali Dira tertawa lepas dan memukul lengan Daffa. Aneh sekali, untuk pertama kalinya Wenda melihat Dira seakrab itu pada seorang pria.
Dari SMA Dira begitu keras. Banyak pria yang suka pada kecantikannya dan banyak pula pria yang takut dengan sifatnya. Sebagai sahabat, Wenda hanya bisa menasehati Dira agar lebih lembut menghadapi teman laki-lakinya.
"Dir...." Panggil Wenda.
Dira berbalik dan menghentikan aksi tertawanya sementara wajah Daffa kembali datar saat melihat Wenda berjalan kearah mereka.
"Iya Wenda ku sayang???" Wenda memutar bola matanya lalu menarik Dira agar menjauh dari Daffa.
Tepat didepan kantor Dira merutuki sikap Wenda yang tega menyeretnya seperti hewan.
"Dir? Tumben dekat sama Cowok??" Pertanyaan itu sukses meluncur dari mulut Wenda.
Bagaimana tidak, Selain Akil siapa lagi yang mampu membuat Dira jatuh hati. Apalagi mengetahui sifat Dira yang seperti itu.
"Kepo." Dira melipat kedua tangannya didepan dada dan tersenyum.
"Yah bukan gitu Dir, gue kan bingung. Bukannya lo pernah bilang yah? Lo gak bakal jatuh hati ataupun deket sama cowok selain keluarga?" Dira terdiam sejenak. Ia tertawa mendengar ucapan Wenda. Gadis itu ternyata masih mengingat kata-katanya.
"Iyap, gue jatuh hati sama Bos Muda. Simple sih, karena dia ganteng."
Wenda menggeleng. Sahabatnya yang satu ini memang bodoh. Sekali melihat yang tampan, langsung jatuh hati. Sama seperti Akil, terlihat tampan namun busuk.
"Tap...."
"Aduh Wen, Daffa nungguin gue. Bye...." Dira mencium singkat pipi Wenda dan pergi menemui Daffa.
"Gue cuma bisa bantu do'a. Semoga kali ini Dira gak gagal lagi." Wenda melipat lengan bajunya hingga sebatas siku. Demi apapun, kalau sampai Dira tersakiti, Wenda tidak akan melepaskan Daffa.
Daffa berhenti tepat didepan rumah Dira. Mulai saat ini setelah rencananya berhasil Daffa akan terus menghantar Dira pulang. Selain karena rasa terima kasih, itu juga untuk membuat ibunya merasa yakin bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Dira melepas sabuk pengamannya dan segera turun. Setibanya didepan pagar, Dira melambaikan tangan kearah Daffa dan dibalas anggukan dingin.
"Ekhem," Goda Allisa disertai senyuman nakal. Pandangannya terus mengarah ke mobil Daffa yang mulai menghilang.
"Apa sih bocah, sana masuk." Dira mendorong tubuh Allisa dan menutup pagar. Mereka berjalan bersama.
Entah kenapa akhir-akhir ini Dira sering sekali merasakan lelah yang lumayan berat. Kepala yang pusing dan napas yang kadang tak terkontrol.
"Lis, Revan kemana?" Tanya Dira, tangan kananya mengambil remote.
"Kaaakkk ganti baju dulu ihhh, bau habis keringat," Teriak Allisa. Gadis manis itu tengah membuat teh hangat untuk Dira.
"Iya nanti, tapi jawab dulu Revan dimana."
"Dorrrr...." Remot yang Dira pegang terjatuh, syukur ada karpet yang menjadi pengaman.
"Revan..."
"Kak? Kemana aja sih?" Dira menghela napas panjang.
"Kamu lupa kalau kakak sibuk kerja?" Dira kembali menatap layar Tv, tangannya berulang kali menindis remote.
"Oh, jadi sekarang kakak udah ngikutin jejak Papa sama Mama yah?"
Dira terdiam mendengar lirihan Revan. Bukan hanya Dira, Allisa yang bahkan berdiri untuk meletakkan teh pun hanya bisa diam.
"Rev, gimana sekolah kamu?" Allisa menatap Revan.
"Kak? Kakak pikir aku masih SMP? Aku udah SMA kelas 10, gak usah ngalihin topik." Revan meletakkan bantal sofa yang dipeluknya dengan kasar. Ia berdiri menatap Dira kemudian masuk ke kamar.
Melihat itu, Allisa hanya bisa mengelus pundak Dira dan ikut masuk ke kamar.
"Salah lagi."
***
Malam ini Dira sudah rapi dengan dress hitan selutut. Rambutnya dibiarkan tergerai begitu saja tanpa churly. Setelah merasa sempurna, Dira langsung turun untuk menemui Daffa.Dira bingung melihat bagaimana akrabnya Daffa dan Allisa, terlebih saat mereka terdiam dengan kedatangannya.
"Cantik kak." Allisa takjub melihat penampilan Dira. Sangat serasi dengan pakaian yang Daffa pakai.
"Hahai baru nyadar."
"Eh kak diam aja." Allisa menepuk pundak Daffa.
"Ah.. Eh maaf." Dengan tidak romantisnya, Daffa menarik tangan Dira untuk keluar.
Allisa menggeleng dan kembali duduk. Bos Kakaknya itu ternyata tampan.
.
.
Keheningan mulai menyelimuti keduanya. Mereka sama-sama sibuk, ada yang sibuk menyetir dan ada yang sibuk menatap keluar jendela.Dira terhuyung kedepan saat Daffa menghentikan mobilnya. Jujur saja, dalam hati Dira terus menggerutu.
"Masuk."
"Disini?"
"Bukan, disana," Tunjuk Daffa pada salah satu tempat sampah.
"Yakali bos."
"Dira saya serius, masuk kedalam sekarang." Dira mengangguk patuh dan mengikuti langkah Daffa menuju rumahnya.
Ralat
Bukan rumah, ini sebuah mansion. Dira berputar untuk melihat setiap sisinya. Semua tampak elegan.
"Diraaa saya bilang masuk."
"Eh iya pak maaf." Dira langsung masuk.
Didalam mereka berdua disambut para maid berbaju hitam. Sungguh, ini sangat memalukan karena Dira juga memakai pakaian berwarna hitam.
Daffa menautkan tangannya ketangan Dira, hal itu tentu membawa desiran hangat didalam hati Dira. Mereka beriringan menuju ruang keluarga yang terdengar begitu ramai.
Dira menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan lembut. Ini menegangkan.
"Welcome Daffa." Teriak seseorang.
Dira menutup kedua matanya rapat-rapat dan mengembangkan senyum termanis yang belum pernah ia berikan kepada siapapun selain, Allisa, Revan, dan Wenda.
"Dia siapa?"
Dira dan Daffa saling menatap satu sama lain.
"Di.. Di.."
Dira melepaskan tautan tangannya dengan Daffa.
"Perkenalkan, nama saya Nadira Nahda Rafanda Aris. Saya salah satu karyawan di perusahaan Daffa."
"Sekaligus pacar aku Bun."
Hening.
Mendadak ruangan yang penuh keramaian itu menjadi bisu. Helen ibu Daffa berjalan kearah Dira.
"Apa kau tahu siapa Daffa?"
"Saya tahu, dia adalah salah satu CEO besar yang terpandang." jawaban Dira membuat alis Helen terangkat.
"Asal usulmu?"
Dira meneguk salivanya dengan berat. Ternyata sifat dingin Daffa berasal dari ibunya.
"Saya dari keluarga Aris Regano Alga. Se.."
"Saya sudah tahu kamu siapa." potong Helen. Ia mendekat kearah Dira dan menyisipkan rambut Dira kebelakang.
"Kapan kalian bersama?"
"Sekitar 1 bulan." jawaban itu bukan berasal dari mulut Dira melainkan Daffa.
"Bagus, pertunangan kamu dan Rena bisa dibatalkan. Akhirnya kamu bisa membuktikan kebunda, kalau kamu itu normal."
"Pftttt." Dira menahan tawanya saat itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END√]
RomanceJangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. Aku mengakui ini karena aku sudah merasakannya. Tentang dia yang terlihat dingin namun pada kenyataan...