Chapter 20

12.8K 469 1
                                    

"Aku cantik kan?"

"..."

"Jawab dong mas."

"Aku manis kan?"

"Seksi pula, apa sih yang gak ada pada diri seorang Nadira Nahda Rafanda."

"Mas??"

"KACANG MAS DAFFA. AKU NGOMONG DARI TADI."

Daffa menghentikan langkahnya, menatap Dira dengan tajam berharap gadis itu bisa berhenti mengoceh setidaknya satu jam saja. Bayangkan, sepanjang perjalanan Dira tidak pernah berhenti memuji kecantikan dan ke indahan bentuk tubuhnya. Daffa bosan, telinganya terasa sangat panas.

Melihat tatapan Daffa, akhirnya Dira terdiam. Bagus!! Setidaknya telinga Daffa bisa beristirahat sekarang. Daffa memanggil salah satu pelayan untuk membawa Dira ke kamar, setelah itu duduk melepas penat di sofa.

Saat pelayan datang, Dira langsung pergi membawa parasaan kesalnya. Sudah di abaikan, di gertak pakai tatapan pula.

"Isss mbak, aku cantik kan?"

Pelayan yang berjalan di belakang Dira tiba-tiba saja gugup. Bingung harus menjawab pertanyaan Dira seperti apa.

Dira menghela nafas, ia hanya ingin mendegar jawaban 'iya' keluar dari mulut Daffa. Untuk apa juga ia bertanya pada seorang pelayan.

"Padahal nih yah mbak, aku cuma mau mas Daffa jawabnya 'iya'. Dari acara di mulai sampai selesai, dia gak muji aku sama sekali," keluh Dira. Bibirnya mengerucut kesal.

Pelayan itu tersenyum. Ternyata penyebab Dira mempertanyakan kecantikannya karena Daffa yang tidak melontarkan satu pun pujian selama acara. Pantas saja, Dira pasti merasa kurang hari ini.

"Anda cantik Nona, sangat cantik."

"Iya itu kata kamu, aku burik pun pasti kamu bilang cantik."

"Baju Nona ada di lemari itu, saya permisi."

Dira mengangguk, ia berjalan ke arah lemari besar. Ini tidak pantas di sebut lemari, lebih pantas di sebut kamar. Luasnya mampu menampung siswa perempuan sekitar enam orang.

"Lemari aja selebay ini." Dira mengambil satu buah baju kaos berwarna putih dan jeans selutut. Setelah menemukan pakaian yang cocok, Dira langsung melepaskan gaunnya.

Dira menatap wajahnya, masih ada sisa make up. Inilah alasan kenapa Dira paling malas merias wajah, jika di bersihkan pasti akan sangat sulit.

Dira masuk ke kamar mandi, ia hendak membasuh wajah namun teringat akan sesuatu.

Tangan kanannya terluka.

Dira tidak bisa membasahi perban itu, Akil sudah melarangnya. Kalau perban itu sampai basah dan menembus luka, lukanya pasti akan terasa perih.

Baiklah, ini hari bahagia sekaligus mengesalkan untuk seorang Dira.

"Kenapa?"

Dira berbalik. Tepat di belakangnya, Daffa berdiri dengan kedua tangan yang di masukkan kedalam saku celanan. Tampan sekali, Dira membatin.

"Gak," jawan Dira singkat. Ia kemudian berbalik dan kembali menatap wajahnya dari pantulan cermin.

"Aku mau panggil pelayan." Dira berniat memanggil salah satu pelayan, mungkin saja mereka bisa membantu Dira menghilangkan make up yang masih tersisa di wajahnya.

"Aku aja." Saat Dira tepat di depan pintu kamar mandi, Daffa menahan lengannya. Membawanya kembali ke dalam.

"Kamu mau ngapain sih?"

Daffa tidak menjawab pertanyaan Dira. Ia mengambil sabun pencuci wajah milik Nayeon dan menuangkannya sedikit ketelapak tangan. Daffa memejamkan matanya. Dira yang mengerti itu adalah kode langsung menutup mata.

Perlahan Daffa mengusapkan sabun itu ke wajah Dira, mengusapnya dengan lembut sampai wajah Dira bersih.

"Perih?" tanya Daffa.

Dira menggeleng. Sekalipun perih, Dira tidak akan mau mengatakannya. Biarkan seperti ini, ia merasa nyaman.

"Kalau perih bilang," Dira mengangguk.

Daffa menjalankan shower dan mengarahkannya ke wajah Dira. Setelah busa itu menghilang, Daffa menyambar handuk kecil.

"Biar aku aja, alay banget," Ucap Dira. Menyembunyikan rasa senang di balik wajah kesal.

Tidak buruk. Dira akui, Daffa jauh lebih hebat dalam hal seperti ini. Berbeda dengan dirinya yang hanya bisa memanggil Allisa.

"Gak usah dilirik," Ucap Daffa sambil mencuci kedua tangannya.

"Siapa juga yang ngelirik."

Dira langsung keluar. Ia mengambil jepitan rambut namun bingung harus berbuat apa pada jepitan itu. Dira menjerit kesal dalam hati, kenapa tangannya harus terluka.

"Kalau mau minta bantuan bilang, jangan diam." Daffa mengambil alih jepitan itu dan menjepitkannya ke rambut Dira. Tidak sulit, hanya menggulungnya keatas.

"Alay, aku bisa sendiri."

Sebelah alis Daffa terangkat, ia bingung dengan perubahan sikap Dira. Perasaan tadi gadis itu ceria sekali, tapi sekarang mendadak dingin dan jutek. Dirinya kah yang kurang peka?

Dira berdiri di depan cermin, menunggu kapan Daffa akan keluar.

"Iss ngapain sih masih di sini, keluar," usir Dira. Daffa berusaha menyembunyikan rasa gemasnya.

"Kamu cantik." puji Daffa kemudian meninggalkan Dira yang terus terdiam.
"Terpaksa banget mujinya." Dira dengan malas berjalan ke ranjang. Malam ini ia tidur di mansion Daffa. Besok pagi-pagi sekali Allisa akan menjeputnya.

Di luar Daffa tersenyum tipis. Ia masih bisa mendengar ucapan Dira yang mengatakan hahwa dirinya terpaksa memuji. Dugaan yang salah.

"Tuan makan malam. Saya ke kamar Nona Dira dulu." Daffa kaget begitu pelayan datang memanggilnya makan malam.

"Dia tidur."

Daffa langsung turun. Pelayan itu menatap pintu kamar Dira dan pada akhirnya ikut menyusul Daffa. Walau tidak melarang secara langsung, pelayan itu tahu Daffa tidak ingin Dira terganggu.


My Cold Man [END√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang