Suasana kembali hening, yang terdengar hanya suara mesin mobil dan bisingnya kendaraan dari luar. Dira menganga saat mobil Daffa dengan santainya melewati Mall. Ingin rasanya Dira melompat keluar.
"Bos gimana sih? Katanya pengen ke Mall," Dengan sedikit kesal Dira melipat kedua tangannya di depan dada. Tidak masalah jika Daffa ingin melewati satu atau bahkan ribuan Mall di dunia ini, tapi tidak dengan diam saja layaknya orang bisu dan tuli. Perjalanan hanya akan terasa hambar.
"Terserah." Daffa melirik Dira dengan ekor matanya. Ia tersenyum tipis kemudian menambah kecepatan mobil. Persetan dengan kecepatan mobil, kekesalan membuat Dira mengesampingkan rasa cemas.Mobil Daffa berhenti pada salah satu bangunan yang begitu mewah. Wajah Dira yang sebelumnya kusut berubah cerah.
"Ini rumah siapa ya ampun." Dira berputar seraya memperhatikan setiap inci bangunan. Sungguh, ini menakjubkan.
"Itu mansion saya."
"Lah yang kemarin man..."
"Bunda."
Daffa memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Memandang Dira yang terlihat begitu kampungan. Dengan sekali helaan nafas, Daffa berjalan santai dan menarik pergelangan tangan Dira untuk ikut bersamanya ke dalam.
Para maid menunduk saat Daffa masuk, kalau Dira hitung ada sekitar 11 orang. Sedetik setelah menunduk, mereka kembali menatap Daffa yang tengah menyeret gadis asing. Gadis itu bukan dari keluarga Damarion, pikir mereka.
"Buset gila, ampun dah, ini rumah gede banget. Kapan sih gue punya tempat kayak gini. Kebayang gak? Ini bahkan bisa nampung warga sekampung," Cerocos Dira tanpa henti. Ia bahkan tidak peduli dengan keadaannya yang sangat miris. Diseret hingga menaiki tangga.
What? Tangga?
Mansion sebesar tidak memiliki lift? Oh tidak mungkin.
"Bos gak ad..."
"Aaaaaaaaa sayaaang kamu pulaaang." Ucapan Dira terpotong. Pandangannya menyipit begitu melihat seorang gadis berhembur memeluk Daffa. Bukannya membalas pelukan itu, Daffa justru menghempaskannya secara kasar. Dalam hati Dira memekik senang.
"Viona sejak kapan kamu di sini," Tanya Daffa. Masih dengan suara dan wajah dinginnya. Viona menghela nafas saat melihat tangan Daffa menggenggam erat tangan Dira.
Melihat semburat cemburu di wajah Viona, Dira semakin sengaja mempererat genggaman mereka. Daffa tidak menyadari kesengajaan itu, yang menjadi titik fokusnya sekarang adalah Viona.
"Viona saya bertanya." Viona mengerjap beberapa kali. Mencoba untuk mengatur sesak didada dan kembali tersenyum.
"Kemarin." Viona berdiri disamping kiri Daffa, tangannya bergelayut di lengan Daffa. Melihat itu, Dira hanya bisa mencibir halus.
"Untuk apa?"
"Yah untuk kamu lah sayang."
"Tapi aku tidak memerlukan kehadiran kamu." Ucapan yang menusuk hati. Tangan Viona perlahan terlepas dari lengan Daffa. Demi apapun, kepulangannya dari Landon justru sesakit ini.
"Kamu kapan berubah sih Daf. Aku kira kamu gak bakal dingin lagi."
"Perkiraan yang tidak mungkin Viona."
"Stop Formal Daff." Teriak Viona. Matanya tajam menusuk retina Daffa. Lama mereka bertatapan, akhirnya Viona melemah. Ia memandang Daffa dengan lembut.
"Aku cuma kangen kamu," Ucapnya lembut.
"Bos maaf saya ada urusan lain." Dira merenggangkan genggamannya dan pergi.
"Kemana?" langkah Dira terhenti. Posisinya, kini mereka saling memunggungi.
"Wenda."
"Urusan kantor?"
Dira mengangguk walau ia sendiri tahu Daffa tidak bisa melihat anggukan itu.
"Jangan pergi tanpa ijin saya." Viona menghela nafas berat. Entah, ini helaan yang keberapa. Dengan sangat terpaksa Viona kembali merengkuh lengen kiri Daffa, tak ada penolakan sedikit pun.
"Hargai calon tunangan saya Viona."
Deg
"Calon tunangan??" Mata Viona menyusuri setiap inci mansion. Hanya ada dirinya, Daffa, pelayan, dan gadis asing.
Tidak
Viona menggeleng kuat. Daffa pasti bermain-main dengan ucapannya.
Viona pantas kaget karena sebelumnya ia memang belum mengetahui apa saja yang sudah Daffa lalui. Viona bahkan tidak tahu Rena sempat menjadi calon istri dari pria yang ia cintai.
"Wenda butuh..." Dira mengatupkan kembali kedua bibirnya saat melihat sorotan mata tajam milik Daffa. Jelas bahwa Daffa tidak menginginkannya bersuara. Padahal Dira berniat menyebut nama Wenda untuk berpura- pura bahwa sahabatnya itu membutuhkannya.
Dengan sekali sentakan Daffa membuat rengkuhan Viona terlepas. Dira mengerjap beberapa kali begitu Daffa menghampiri dan mencium pipi kanannya. Ini bukan ekspektasi, ini Realita. Sudut bibir Dira tertarik membentuk sebuah senyuman yang tidak nampak di mata Daffa.
"Jangan pergi." Daffa setengah berbisik, tangannya menyentuh kedua pipi Dira.
Cukup.
Viona sudah berada dititik habisnya kesabaran. Melihat Daffa bermesraan dengan seorang gadis asing. Daffa tidak pernah seperti ini pada siapapun.
Mata Viona memanas. Hatinya teriris melihat perlakuan manis Daffa.
"CUKUP DAFFA." Teriak Viona. Tangannya mengepal kuat. Seluruh pelayan sempat kaget namun kembali menunduk.
"Kenapa?" tanya Daffa. Dira meremas kuat jari-jari Daffa.
"Tunangan? Bermesraan? Apa ini? Jangan main-main Daf." mendengar ucapan Viona, Daffa tersenyum miring.
"Main-main? Mau lihat yang lebih dari ini?" Daffa memeluk pinggang Dira dengan erat seakan tak ingin ada yang merebut Dira darinya.
Bagaimana dengan Dira? Kondisinya sekarang tidak bisa di bilang baik-baik saja. Jantung nya berpacu dua kali lebih cepat karena perlakuan Daffa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END√]
RomansaJangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. Aku mengakui ini karena aku sudah merasakannya. Tentang dia yang terlihat dingin namun pada kenyataan...