Daffa melemparkan jasnya dengan asal begitupun kedua sepatunya. Dira menggeleng, pasti efek kelelahan. Dira memunguti sepatu dan jas itu lalu meletakkannya ke belakang pintu utama. Mereka pulang larut malam karena banyak urusan kantor yang tertinggal sejak acara pertunangan. Belum lagi semenjak pengunduran Rena sebagai sekretaris membuat Dira harus membantu Daffa mengurus semuanya. Kini Dira bukan lagi karyawan melainkan sekretaris. Aneh memang, tunangan sendiri di jadikan sekretaris.
"Kamu langsung naik ke atas aja, tidur." Dira duduk di samping Daffa. Memijit pelan kepala pria itu.
"Makasih, kamu juga masuk, disini dingin." Daffa bangkit dan berjalan ke kamarnya. Dari belakang, Dira hanya bisa tersenyum. Baginya Daffa begitu baik, di balik sikap dinginnya terdapat kehangatan dan di balik tatapan tajamnya terdapat kelembutan. Dira merasa gila karena terpikat pada Daffa.
"MASUK DAN TIDUR."
Dira melompat keatas sofa. Teriakan Daffa yang sangat keras membuat jantungnya berdegup kencang. Dira mengira Daffa sudah tertidur ternyata tidak.
Dira langsung masuk kekamarnya, membawa perasaan kesal dan kaget. Asik melamun di ganggu, dasar pria beruang kutub, rutuknya.
****
Pagi tiba. Sinar matahari mencoba masuk melalui celah jendela untuk membangunkan kedua insan yang larut dalam mimpi, siapa lagi kalau bukan Daffa dan Dira. Hari ini mereka akan pergi ke rumah Helen, yah itu karena semua pekerjaan telah terselesaikan. Namun siapa sangka, Helen justru masih memerintah mereka.
Dira menggeliat, pandangannya terasa aneh. Saat membuka mata, nampak cahaya yang begitu silau. Dira kaget, ini sudah sangat pagi. Dengan sekali gerakan, Dira berhasil melompat turun ke ranjang dan berlari menuju kamar Daffa. Di ketuknya pintu itu dengan sangat keras membuat empunya merasa terganggu. Melihat tidak ada respon apapun, Dira akhirnya mendorong pintu Daffa.
"Kam..." omongan Daffa terpotong.
Dira terbelalak namun setelah sadar ia akhirnya menutup mata. Daffa tidur tanpa memakai baju.
"Kamu ihhhh, tidur tuh pakai baju. Gak dingin apa?" omel Dira, masih dengan mata terpejam.
"Kamu ngapain masuk kamar aku??" Daffa dengan kesal langsung bangkit dan menyambar kaosnya yang tergeletak di lantai.
"I... It... Itu karena kamu gk mau bangun."
Setelah merasa aman, Dira akhirnya membuka mata dan menatap Daffa. Dilihatnya senyum tipis dari pria itu, hal itu tentu membuat Dira semakin kesal.
"Kenapa cemberut?" Daffa menyentil jidat Dira. Setidaknya dengan demikian, Daffa bisa membayar rasa gemasnya untuk tidak mencubit pipi Dira. Dira menggerutu, dicubitnya perut Daffa lalu lari begitu saja.
Dira terus berlari hingga akhirnya berhenti karena rasa lelah. Ia memegang knop pintu sebagai sandaran.
Tok.. Tok..
Dira melompat saat mendengar ketukan di belakangnya. Dengan cepat Dira membuka pintu itu.
"Iya sia....." Dira terbelalak.
"Hai!!!!"
"VINO???" Vino mengangguk mantap saat Dira menyebut namanya.
Dira merasa heran dengan kedatangan Vano yang sepagi ini. Bukankah kemarin semuanya sudah selelsai? Lalu untuk apa lagi ia kesini setelah mendapatkan syaratnya terpenuhi. Dira hendak menutup pintu kembali namun tangan Vano menahannya dengan alasan bahwa tamu adalah raja, perlakukan ia dengan baik.
"Lu mau apa sih?? Gak capek apa?? Kemarin gue udah minta maaf. Sekarang dengan hormat lu pergi dari sini dan jammppphhhhhhhh." Vino membekap mulut Dira. Telinganya sudah sangat panas dengan kicauan unfaedah itu.
"Dir.. Hei.. Lu kenapa sih?? Lu gak kenal gue??" Dira melepaskan bekapan Vino. Ditatapnya pria itu tajam, setajam maut pencabut nyawa.
"Kenal?? Gak dan gak mau!!"
"Bener bener lu Diroooooong." Vano menarik Dira dalam pelukannya. Membayar segala kerinduan yang sudah sepuluh tahun lebih ia tahan. Berat, tentu saja.
Dira tak percaya dengan perlakuan Vino. Tapi, mendengar panggilan Vino entah kenapa Dira merasa ada yang aneh. Panggilan itu tidak asing di telinganya.
"Bentar." Dira melepaskan pelukannya lalu menyentuh kedua pipi Vino. Memeriksa dengan teliti setiap inci wajah pria itu.
"Pinpin???? Pinpin gue kan???" Jerit Dira lalu kembali memeluk Vino, kali ini sangat erat karena ia juga rindu. Vino tersenyum dalam pelukan Dira.
Demi apapun, mereka sama-sama menahan rindu. Vino yang datang dari London dan Dira yang terus saja menetap di indonesia tanpa rasa bosan. Vino menangkup wajah Dira, ia tidak percaya bahwa gadis yang dulunya masih suka mengepang rambutnya menjadi dua bagian kini telah tumbuh cantik.
"Gue gak nyangka lu udah segede ini." Dira meneteskan air mata.
Melihat tangis Dira, Vino kembali membawa Dira dalam pelukannya.
"Siapa Dir.... Ra." langkah Daffa terhenti tepat di anak tangga pertama. Pemandangan itu begitu memalukan bagi kedua matanya.
Vino menatap Daffa dengan senyum. Dirinya tahu bahwa Daffa adalah tunangan Dira.
"Gue kangen tahu," rutuk Dira sambil memukul punggung Vino.
Antara keduanya tak ada yang berniat untuk melepaskan pelukan. Sementara dari belakang, tangan Daffa mengepal kuat.
Cemburu?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END√]
Storie d'amoreJangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. Aku mengakui ini karena aku sudah merasakannya. Tentang dia yang terlihat dingin namun pada kenyataan...