"Tunggu, kok kalian bisa tahu Dira bakalan lewat sana?" Tanya Akil. Mereka bertiga tengah duduk di ruang tamu. Daffa menunjuk Vanya dengan dagunya.
"Mudah, Nona...."
"Bisa gak? Gak usah formal, telinga gue panas." Ucapan Akil membuat Vanya ternganga. Bagaimana bisa ia berbicara nonformal di hadapan majikannya.
"Yang Akil bilang benar, pakai informal aja."
"Lo gue gitu Tuan?" Daffa mengangguk, hal itu membuat Vanya salah tingkah. Bukan hal yang mudah jika melakukan apa yang belum pernah di lakukan.
"Gampang, karena gak tahu harus kemana Dira pasti mikir ke arah cafe Diamond..."
"Apa hubungannya coba?" Untuk kedua kalinya Akil memotong percakapan.
"Bisa gak sih dengerin orang ngomong dulu?" Akil dan Daffa saling berpandangan heran. Mereka tidak menyangka Vanya akan menggertak seperti itu.
"Coba kalian pikirin, Di samping Cafe Diamond ada T-nine nah di samping T-nine ada LA-Cafe..."
"Di samping LA-Cafe ada Pangkalan remaja." lanjut Daffa.
"Di samping pangkalan remaja ada Caffe-Bro." Lanjut Akil.
Vanya tersenyum, tidak sulit untuk membuat dua orang ini mengerti.
"Nah Dira pasti mikir Cafe omong kosong itu ada di antara mereka juga, mungkin di samping Caffe-Bro."
Daffa beranjak dari duduknya. Ia hendak keluar untuk mencari Dira namun Akil melarangnya. Di luar sudah sangat gelap ditambah hujan yang begitu deras. Tidak mungkin mereka keluar di saat seperti ini, jika mereka sakit akan bertambah sulit untuk menemukan Dira.
"Gue gak bisa diam Kil. Gue tahu dia ketakutan sekarang." Daffa menatap Akil dengan penuh permohonan. Berharap sepupunya itu mengerti.
"Iya gue tahu, tapi kalau lo sakit yang ada kita susah nyari Dira."
"Yang Akil bilang benar. Besok, pagi-pagi sekali kita cari Dira. Gue tahu di mana harus nemuin dia."
"Kalau tahu yah sekarang."
"Tunggu besok." Vanya tidak kuat lagi melihat keras kepalanya Daffa. Tidak sulit menunggu besok, mereka hanya perlu tidur.
"Mode pelayan." Akil bertepuk tangan tiga kali, hal itu membuat Vanya berkedip dan kembali ke mode awal yaitu seorang pelayan.
"Saya pamit tuan, besok kita kembali mencari Nona Dira," ucap Vanya kemudian berlalu menuju kamar khusus para pelayan.
Kepergian Vanya membuat Akil bertambah pusing. Daffa tidak berhenti mengomel karena Dira.
***
Dira sangat lelah karena menghabiskan tenaganya untuk memberontak. Pria berbadan keras itu menutupi kedua mata serta mulutnya dengan kain. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah berdoa.Saat kakinya berpijak pada lantai, Dira tahu bahwa kini ia berada pada sebuah rumah yang entah bentuknya seperti apa. Salah satu dari pria itu menariknya agar duduk di sebuah kursi lalu mengikat seluruh tubuhnya.
"Kak Diraaaaaa.." Pekikan keras itu membuat Dira yang tadinya lemas mendadak segar. Suara yang membuatnya nekat keluar sendirian.
"Allisa?? Revan sama Wenda mana?" ingin rasanya Dira meraba wajah Allisa, dengan begitu ia bisa tahu apakah adiknya baik-baik saja.
Terdengar suara tangisan dari Allisa. Ia merasa bodoh karena berteriak meminta agar Dira datang membebaskannya. Sekarang apa yang terjadi? Justru mereka berdua terjebak dalam tempat yang mereka sendiri tidak tahu apa.
"Lis, kamu denger kakak kan? Revan sama Wenda mana?" Karena penutup mulutnya sudah di lepas, Dira jadi bisa berbicara meski tidak untuk berteriak.
"Kak Wenda sama Revan ada di bagian atas," jawab Allisa.
Di atas? Itu artinya tempat ini berlantai dua atau bahkan lebih dari dua. Di mana mereka sekarang? Jerit Dira dalam hati.
"Siapa yang ngelakuin ini Lis?? Siapa??" Dira menjerit, seketika pria yang tadi menculiknya marah.
"Viona, dia yang culik kita bertiga di rumah."
"Vi... Viona??" saat menyebut nama itu mendadak tubuh Dira menegang.
"Iya, kenapa??"
Allisa ketakutan begitu Viona datang tiba-tiba. Ia takut wanita kejam itu kembali menampar wajahnya. Lain dengan Dira, ia justru tertawa licik melihat kebodohan dan lemahnya Viona.
"Lemah lo yah, pakai acara culik adik dan sahabat gue biar bisa mancing gue. Gak bisa yah ngadapin gue sendiri?"
Viona awalnya memandang Dira penuh api, namun sedetik kemudian tertawa hambar. Gila!!!
"Karena mereka kelemahan lo, gue bisa bikin lo menderita dua kali lipat."
"Mau lo apa sih hah? Mau duit? Lupa yah sama ucapan bokap gue? Gue bahkan bisa beli mulut lo dengan selembar kertas." Dira tersenyum mengejek. Perlahan Viona maju dan menamparnya dengan sangat keras. Bagi Dira ini tidak seberapa, yang ada di pikirannya hanyalah Revan, Allisa, dan Wenda.
"Gue gak terima lo makin dekat sama Daffa, gue mau lo jauhin dia."
"Ooo jadi lo khawatir kalau gue sama Daffa makin dekat? Lo takut dia jatuh cinta sama gue? Asal lo tahu yah, dia udah jatuh cinta sejak pertama kali lihat gue."
Cukup!!! Viona sudah sangat geram mendegar ucapan santai namun menusuk dari mulut Dira. Sejak Rena memberitahunya mengenai pertunangan pura-pura antara Daffa dan Dira, ia merasa punya kesempatan kembali untuk merebut Daffa. Toh, antara mereka tidak ada keseriusan.
"Cinta?? Hahaha, kalian bahkan tuangan pura-pura. Bagai..."
"Bagaimana mungkin ada cinta gitu?? Hahaha Viona... Viona. Lo gak pernah baca Quotes kalau cinta itu datang karena terbiasa?"
Viona terdiam. Memang benar apa yang Dira katakan. Karena kehabisan kalimat, Viona meminta bodyguardnya untuk menutup mata Dira kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END√]
RomanceJangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. Aku mengakui ini karena aku sudah merasakannya. Tentang dia yang terlihat dingin namun pada kenyataan...