Sudah satu bulan sejak pulangnya Helen dari rumah sakit Dira dan Daffa harus telaten menjaga serta merawatnya di atas kursi roda. Hal ini tentu membuat kedekatan antara Daffa dan Dira semakin kuat. Belum lagi perasaan Daffa mulai terbuka hingga menyadari bahwa Dira mampu membuat dirinya merasakan apa yang belum pernah ia rasakan.
Sementara Dira, ia bahkan tidak menduga bahwa sudah hampir lima bulan dirinya dekat dengan Daffa. Pria yang ia sukai itu juga tidak sedingin dulu walaupun reponnya masih sedikit ketus, yah hanya sedikit.
"Halo?" Dira memberi kode pada Daffa bahwa ia harus keluar untuk berbicara dengan seseorang di balik telepon.
"Ini siapa?"
"...."
"Apa???" Dira langsung menutup mulutnya, takut jika Daffa terganggu.
"...."
"Ok, saya kesana. Tapi, jangan sakitin mereka."
"....." Dira memejamkan matanya. Masalah apa lagi ini.
"Cafe Riberlin?"
"...."
"Ok saya kesana."
Dira terdiam cukup lama. Ia ingin memberitahu Daffa tapi takut jika tidak mendapatkan izin. Sambil berucap maaf dalam hati, Dira langsung menyambar tasnya dan pergi.
Sepanjang perjalanan, Dira tidak bisa diam. Hatinya gelisah saat si penelpon itu mengancam akan melukai Allisa, Revan, dan Wenda. Sial, apa maunya? Kenapa memakai cara bodoh seperti ini jika memang menginginkan uang. Dira menambah kecepatan mobilnya agar bisa sampai sesuai waktu yang di rencanakan.
Di pertengahan jalan kesialan bertambah. Sebuah mobil merah berhenti tepat di hadapan mobil Dira, ini bukan tidak sengaja, mobil itu memang ingin menghentikan mobil miliknya.
"Keluar?" Dira ketakutan. Mobil itu berisi tiga pria asing yang sangat menakutkan. Bodoh, ini jebakan. Dira mengumpat atas dirinya sendiri.
Pria itu menarik Dira keluar dan membawanya masuk kedalam mobil mereka, tidak peduli dengan pemberotakan yang Dira lakukan .
"Daff tolong"
Prankkkk.
"Bunda kenapa? Gelasnya kenapa jatuh?" Daffa menggenggam kedua tangan Helen yang bergetar. Tidak biasanya, ia selama ini baik-baik saja.
"Bunda khawatir, gak tahu kenapa. Daffa, coba kamu cari Dira kok nelponnya lama."
Daffa mengangguk dan pergi mencari Dira. Semua ruangan bahkan halaman belakang sudah ia datangi, tapi sosok Dira tidak ada. Dalam hati Daffa bertanya, apakah ini ada hubungannya dengan feeling Helen?
"Tuan Daffa, saya harap anda mau mendengarkan ini!!" Vanya menyerahkan handphone Dira pada Daffa. Saat Daffa bertanya untuk apa, Vanya hanya akan menjawab 'dengarkan saja'.
Daffa mengambil handphone Dira dan mendengarkan rekaman itu. Tangannya terkepal kuat, bodoh sekali gadis itu yang sangat mudah percaya.
"Setahu saya tidak ada Cafe bernama Riberlin. Bersyukur karena Nona Dira merekam pembicaraannya dan kita bisa tahu bahwa ia diluar Zona aman."
Daffa mengacak rambutnya dengan sangat frustasi. Entah kenapa ia merasa ketakutan untuk yang ketiga kalinya, pertama karena Damarion, kedua Helen, dan ketiga Dira. Gadis itu memang menjengkelkan, kenapa ia tidak mengatakan semuanya lebih dulu lalu pergi. Helen tidak boleh mengetahui ini.
"Kamu cari dia sampai dapat."
Vanya dan Daffa saling melempar tatapan khawatir. Di belakang mereka ternyata ada Helen yang entah sejak kapan. Sudahlah, tidak ada lagi yang bisa disembunyikan.
"Daffa pergi dulu bun," pamitnya seraya mencium pipi kanan Helen.
"Saya ikut tuan." Awalnya Daffa menolak Vanya namun karena Helen mengatakan bahwa otak Vanya sangat cerdik ia terpaksa mengangguk.
"Tuan, saya akan menghubungi Akil, saya yakin mereka lebih dari dua."
Daffa menyerahkan handphonenya pada Vanya. Setelah menerima respon dari Akil, mereka langsung pergi.
"Dira pergi kemana?" Daffa memukul setir mobil sementara Vanya nampak berpikir. Kini mereka bingung harus mencari Dira kemana, Cafe Riberlin tidak pernah ada.
"Kita ke Cafe Diamond dekat kantor tuan." Daffa mengernyit heran dengan anjuran Vanya. Sudah tahu Dira tujuannya ke Cafe omong kosong itu, lalu untuk apa ke Cafe Diamond. Karena mengakui kepintaran Vanya, terpaksa Daffa menjalankan kembali mobilnya menuju Cafe Diamon.
Di pertengahan jalan Vanya langsung memukul bahu Daffa agar berhenti. Tak mau celaka, Daffa terpaksa meberhentikan mobilnya sambil memaki.
"Tuan, itu mobil Non Dira." benar saja, tidak jauh dari hadapan mereka terdapat mobil hitam milik Dira terparkir sembarangan. Daffa berharap Dira masih ada di dalam sana.
Vanya berlari lebih dulu untuk melihat apakah Dira masih ada di dalam mobilnya atau tidak. Setelah mengecek semuanya, Vanya menatap Daffa sambil menggeleng yang artinya Dira tidak ada. Daffa dengan kesal langsung menendang ban belakang mobil Dira, gadis bodoh itu memang tidak bisa berpikir sebelum bertindak.
Tak lama kemudian mobil Akil berhenti, wajahnya tak kalah khawatir.
"Gimana? Dira ketemu kan?" Daffa menggeleng lemah.
"Shit," umpat Akil.
"Gue gak mau tahu, kita harus temuin Dira." Akil menatap kepergian Daffa yang tanpa sadar menarik tangan Vanya. Sebegitu khawatirkah Daffa? Apa ia sudah memiliki perasaan yang besar pada Dira? Akil menggeleng kuat, kalau iya kenapa harus setakut ini. Dira akan mendapatkan sosok terbaik, tidak seperti dirinya yang munafik.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END√]
RomanceJangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. Aku mengakui ini karena aku sudah merasakannya. Tentang dia yang terlihat dingin namun pada kenyataan...