Sesuai janji Dira pada Daffa saat di kantor, malam ini akhirnya Dira duduk diantara Helen dan Daffa. Pandangannya hanya terfokus pada interior rumah Daffa. Jika boleh meminta, kelak Dira menginginkan tempat seperti ini.
Helen berdehem, ini sudah yang ketiga kalinya. Melihat kode yang Helen berikan tidak ditanggapi, Zean sepupu Daffa langsung mencubit betis Dira.
"Awsss.." pekiknya.
Zean menunjuk Helen dengan dagu dan kembali fokus ke Handphone.
"A... Ada apa Bu?"
"Paggil bunda," Ucap Helen dengan dingin.
"I... Iya Bun."
"Bagus."
Helen memperbaiki letak duduknya dengan anggun kemudian menyentuh pundak Daffa dan Dira secara bersamaan. Jika ada yang bertanya Helen itu siapa, dia adalah ibunda Daffa.
"Pertunangan kalian akan Bunda adakan bulan ini," Ucap Helen dengan mantap.
"APAA/ YESS."
Daffa melirik Dira dengan tajam.
"Bun, ini terlalu cepat."
"Daffa kamu normal atau tidak?"
"Baiklah."
Daffa beranjak dari duduknya sambil menarik tangan Dira. Tepat didepan pintu, Daffa terdiam. Pikirannya berkelana kemana-mana.
"Saya minta maaf, karena kamu harus menanggung ini."
"Aelah Bos, santai aja kalau sama saya." Daffa menatap Dira tidak percaya.
"Jangan main-main Dir, masa depan kamu dipertaruhkan."
"Justru masa depan saya sudah nampak indah sekarang." baiklah, mungkin Dira lupa untuk minum obat.
"Terserah, saya mau antar kamu pulang."
"Nginap juga boleh Bos."
"Dira."
Daffa membuka pintu kemudi dan masuk begitu saja. Betul-betul tidak memiliki kesan romantis. Dira dengan kesalnya duduk disamping Daffa kemudian bersandar.
Perlahan namun pasti, mata gadis itu mulai terpejam lembut. Setelah merasa Dira tertidur, Daffa meminggirkan mobilnya dan mengambil jas di jok belakang.
"Ummm." Dira menggeliat kecil saat merasakan sesuatu menyentuh bahunya. Itu adalah jas milik Daffa.
Daffa menatap wajah Dira yang begitu cantik. Daffa akui, gadis itu memang cantik hanya saja terlalu cerewet.
Daffa kembali melajukan mobilnya dan berhenti tepat didepan pagar rumah Dira. Semuanya terlihat sepi, tak ada satupun satpan yang bertugas. Lalai sekali, apa Dira tidak mempunyai otak untuk memikirkan keamanan.
Daffaa mengambil handphonenya dan mulai menelpon seseorang.
"Datang sekarang."
"..."
"Di Jl. Melati No. 11."
"..."
Daffa mematikan sambungan teleponnya dan kembali membuka pintu mobil. Dapat ia lihat wajah Dira yang tertidur pulas. Saat tangannya berusaha menyentuh pipi Dira, saat itu juga rasa tak tega menyelimuti hatinya.
"Maaf."
Hanya kata itu yang Daffa ucapkan kemudian menggendong tubuh Dira ala Bridal Style. Daffa tak perlu mengetuk atau memencet bell rumah, sebab pintu rumah tidak di kunci.
Sedikit sulit untuk membuka pintu dengan posisi menggendong Dira.
"Syukur." Daffa merasa lega setelah berhasil membuka pintu.
Daffa hendak membaringkan tubuh Dira ke sofa namun suara Allisa membuat tubuhnya menegang. Allisa datang bersama Revan, wajah mereka menggambarkan kekhawatiran.
"Kak Dira kenapa? Gak kakak apa-apa in kan?" Tanya Revan. Tangannya kini menggenggam tangan Dira dengan lembut.
Sekilas Daffa tersenyum kemudian menggeleng dan menjelaskan semuanya. Allisa berjalan kearah Daffa dan membisikkan sesuatu.
"Yasudah saya pamit pulang."
Allisa menahan lengan Daffa.
"Kak nginap aja, udah larut banget."
"Saya gak bawa baju Lis." Allisa tersenyum kearah Revan seakan meminta adik tersayangnya itu untuk menjelaskan.
"Santai kak, dilemari Papa banyak pakaian kantor. Jangankan sehari, ber abad-abad juga cukup kalau kakak mau tinggal disini." wajah Daffa mendadak datar. Allisa dan Revan sangat pandai, ia bahkan bisu untuk mengeluarkan alasan lainnya.
Melihat Daffa berjalan kearah kamar Dira, Allisa tertawa geli. Daffa pasti tidak tahu dimana letak kamar Aris yang sebenarnya.
Didalam kamar, Daffa terkejut bukan main. Kamar ini pasti bukan kamar orang tua Dira. Ini kamar gadis, entah milik Dira atau Allisa
"Aduh kak," Keluh Allisa dan Revan bersamaan. Tubuh tinggi Dira membuat mereka kelelahan untuk membopong. Sial sekali, umpat Daffa dalam hati. Ternyata kamar Dira.
"Sini saya bantu." Daffa mengambil alih tubuh Dira dan menidurkannya ke King Size.
Bruk...
Revan yang sudah diusia 15 tahun itu langsung mendorong tubuh Daffa hingga terjatuh tepat diatas ranjang. Posisinya sekarang adalah, Dira menindih tubuh Daffa dengan mata terpejam.
Allisa merutuki kepintaran adiknya yang sangat, sangat, sangat plus itu. Mereka terkikik geli dan keluar mengunci pintu.
Satu hal penilaian Daffa tentang dua bocah tuyul itu.
Nakal
"Apa? Papa mau ke Milan lagi?" Daffa kembali terbaring saat Dira menarik tangannya. Gadis itu sepertinya bermimpi.
"Dir.."
"Udah isss, Papa gak sayang anak."
"Dir..."
"Hiksss." Daffa tersentak saat itu juga. Dira menangis dalam keadaan mata terpejam. Dengan cepat Daffa memutar tubuhnya untuk mengambil tissue diatas nakas. Gadis ini konyol saat terbangun tapi menangis saat tertidur.
Gelap. Lampu kamar Dira tiba- tiba mati
Mati lampu?
Tidak.
"Pasti dua tuyul itu." Daffa menghela napasnya. Malam yang menyebalkan ini mengharuskan Daffa tertidur disamping Dira. Dengan posisi membelakangi Dira, Daffa merasakan sebuah tangan mungil melingkar di pinggangnya.
Dira memeluk Daffa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END√]
RomanceJangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. Aku mengakui ini karena aku sudah merasakannya. Tentang dia yang terlihat dingin namun pada kenyataan...