"Aku seneng bunda udah agak baikan."
"hmmm"
"Cuma yang jadi pertanyaan di otaku aku adalah, siapa si penabrak yang gak bertanggung jawab itu."
Daffa menghentikan langkahnya mendengar ucapan terakhir Dira. Mereka berada di taman saat dokter meminta Helen beristirahat dalam pengawasan suster. Memang benar, ia juga memiliki pertanyaan yang sama, tentang siapa penabrak tidak bertanggung jawab itu. Jika kelak Daffa menemukannya, kedua kaki orang itu harus bernasib sama seperti ibunya.
Dira beberapa kali melambaikan tangan kedepan wajah Daffa. Apakah ada yang salah atas ucapan tadi? Melihat tak ada respon apa-apa, Dira langsung berteriak dan itu berhasil menyadarkan Daffa beserta pasien yang kebetulan berada di taman.
"Jangan ribut."
"Yah aku lihat kamu diam aja, jadi gitu." Dira mengerucutkan bibirnya.
"Oiya, tadi kamu mau ngomong kan? Tapi kepotong karena aku teriak pas bunda sadar." Dira yang sebelumnya kesal mendadak kepo, ingin tahu kelanjutan dari ucapan Daffa tadi.
"Gak jadi" Daffa bukan mau menyembunyikan ucapannya tadi, hanya saja suasana yang kurang memungkinkan. Dengan cara mengabaikan Dira, ia pergi begitu saja tanpa mengajak bahkan sekedar pamit.
Jika ditinggalkan dengan berbagai pertanyaan apa seseorang hanya akan tinggal diam? Tidak kan? Seperti itulah Dira, ia mengejar langkah Daffa yang berjalan menuju kantin rumah sakit. Sebenarnya kantin rumah sakit ada yang dekat dengan ruangan Helen, tapi karena tidak sebersih yang Daffa inginkan terpaksa mereka mencari kantin lain.
Setibanya dikantin, Dira langsung duduk di hadapan Daffa dan memesan jus beserta bakso, sementara Daffa hanya jus saja. Dira tahu betul kalau Daffa tidak akan memesan makanan di tempat seperti ini.
"Mbak ralat yah, saya pesan dua mangkok." penjaga kantin itu mengangguk dan mulai membuatkan pesanan pelanggannya.
"Gak usah sok pesan dua, nnti gak abis," ucap Daffa tanpa mengalihkan padangannya dari jus miliknya.
"Kan ada kamu yang bantu abisin."
"Jangan macam-macam."
"Ye. Siapa yang ma.."
"Ini mbak pesanannya." ucapan Dira terpotong begitu pesanannya datang. Ia melirik Daffa sekilas lalu mendorong Satu mangkok bakso.
Daffa heran untuk apa bakso itu Dira geser kehadapannya. Tidak mungkin karena meminta di suapi, kalaupun ia Daffa tidak akan melakukannya.
"Kamu makan ini, dari tadi kamu belum makan," ucapa Dira.
Daffa terbelalak. Ia berusaha menyembunyikan kekagetannya namun tidak bisa. Kemarin nasi bungkus dan sekarang bakso? Memang benar ada banyak sekali yang mengatakan bahwa makanan berbentuk bulat ini sangat enak, tapi tetap saja tidak untuk seorang Daffa.
Daffa menggeleng sambil menatap kedua mata Dira dengan tajam. Kalau bukan kantin ramai, Daffa sudah pasti marah.
"Kamu makan Chagi, nanti kalau kamu sakit gimana? Mau kamu kalau bunda khawatir?"
"Gak usah nakutin."
Dira menghela nafasnya dengan berat, Daffa selain dingin ternyata batu juga. Apapun yang Dira perintahkan harus di tolak dulu walau pada akhirnya di patuhi. Beginilah jika sedari kecil tak pernah belajar mandiri, hanya mengandalkan kekayaan sampai lupa bahwa kelak manusia akan melakukan semuanya serba sendirian.
Dira juga kaya, bahkan ayahnya adalah pengusaha terkenal di milan serta ibunya designer terkenal di indonesia. Hanya saja, sejak di titipkan pada om dan tentenya Dira tidak pernah menginginkan ini itu, menolak yang di berikan, serta memandang remeh sesuatu yang rendah. Kenapa? Karena Dira sadar dirinya hanya menumpang pada orang sekalipun itu keluarganya.
Dira baru bertingkah sejak tinggal bersama Allisa dan Revan. Apapun bisa ia dapatkan dengan mudah karena uang melimpah dalam kartu miliknya. Belum lagi sejak umurnya memasuki 17 tahun, Aris memberi izin bebas untuk shopping.
"Dir?? Makanan kamu dingin." Daffa merasa heran dengan diamnya Dira. Sangat tiba-tiba, itu terjadi ketika ia menolak untuk memakan bakso.
"Dira??"
"Eh i.. Iya kenapa?"
Kini giliran Daffa yang menghela nafasnya. Ia sadar, Dira merasa tidak enak dengan penolakan tadi. Sangat terpaksa Daffa menarik bakso itu lebih maju lagi di hadapannya."Demi kamu."
Daffa memakan bakso itu dengan mata terpejam. Awalnya Daffa mual sampai membuat beberapa pengunjung keluar.
"Kamu yakin?" tanya Dira.
"Ya, cepat makan."
Dira mengangguk lalu menyantap makanannya dengan lahap. Di balik itu semua, Dira tersenyum. Benarkan? Awalnya menolak dan akhirnya mematuhi? Itulah AlDaffa Delion.
Setelah makanan mereka habis, Dira membayar makanannya serta makanan para pelanggan yang kabur. Lucu sekali, pasti salah satu dari mereka ada yang menggerutu dalam hati bahwa tampan tapi menjijikkan.
Dira menghampiri Daffa dan menggenggam tangannya. Mereka beriringan menuju ruangan Helen untuk memeriksa apakah ia baik-baik saja setelah ditinggalkan bersama perawat. Saat mereka tiba, Akil langsung beranjak dari duduknya di sebelah Helen. Menatap genggaman Dira dan Daffa.
"Sejak kapan lo di sini?" Tanya Daffa.
"Sekitar beberapa menit." Akil tidak melepaskan pandangannya sama sekali.
"Luka lo udah sembuh Dir? Perbannya gak ada lagi?"
"Iya, kemarin udah di buka. Goresannya cuma sepanjang kelingking." ucapan Dira membuat Daffa dan Akil saling berpandangan.
"Cuma?/Cuma?"Dira mengangguk kaku. Kenapa Akil dan Daffa sangat kompak mengucapkan pertanyaan itu.
"Seret RSJ gih Daff."
"Tunangan gw ini."
"Lupa."
Biarkan Dira bingung untuk saat ini, ia ikhlas.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END√]
RomansaJangan pernah berpikir bahwa yang cuek padamu tidak akan pernah peduli dengan apapun yang terjadi. Dirinya peduli, walau sebatas lirikan ekor mata. Aku mengakui ini karena aku sudah merasakannya. Tentang dia yang terlihat dingin namun pada kenyataan...