Chapter 13

12.5K 505 3
                                    

Daffa menautkan jari-jari tangan kanannya ke jari-jari tangan kiri Dira. Mereka berjalan beriringan, tidak lagi saling membelakangi.

Dalam hati Dira menjerit senang. Ia tak perlu lagi merasa lelah menyamai langkah panjang Daffa.

"Bunda." Setibanya di dalam mansion, Daffa langsung mencium pipi Helen.

"Bunda." Disusul Dira yang mencium punggung tangan Helen.

Daffa melepaskan genggamannya bersama Dira dan pergi begitu saja meninggalkan keramaian keluarganya entah karena apa.

Helen terdiam. Bahkan di saat seperti ini Daffa masih sempat mengabaikan keluarganya. Helen bingung, apa yang harus ia berikan agar Daffa bisa mengatur sifat di depan keluarga.

"Bunda kenapa?" Helen tersentak begitu Dira melemparkan pertanyaan padanya. Helen tersenyum dan menyentuh kedua pipi Dira.

"Gak. Kamu duduk sama sepupu-sepupu Daffa dulu yah."

"Bunda mau kemana?"

"Ke atas nyusulin Daffa."

Ada banyak keanehan yang Dira lihat. Sering sekali Daffa nampak tidak memperdulikan sekitarnya. Apa pria itu memiliki masalah?

Sesuai perkataan Helen, Dira berjalan ke beberapa sepupu Daffa. Mereka tengah asik berbincang hingga tidak menyadari kedatangan Dira. Sampai akhirnya Dira duduk, salah satu di antara mereka langsung kaget dan tersenyum. Dira mengenal gadis cantik itu dengan nama Nayeon, gadis keturunan korea. Wajahnya cantik, imut dengan gigi kelinci. Dira seperti pernah melihat gadis itu tapi entah di mana dan kapan.

Nayeon menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Dira. Tangannya menyentuh punggung tangan Dira, sungguh Dira merasa malu karena hal itu. Dalam hati ia merutuki kebodohannya sendiri yang tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun karena malu.

Melihat Dira diam, Nayeon akhirnya bertanya. Tidak dapat Nayeon pungkiri bahwa Dira sangat cantik. Dagu yang runcing cantik, hidung mancung, kulit putih bersih, dan mata yang menyipit indah. Sama seperti Dira, Nayeon juga merasa bahwa mereka pernah bertemu entah kapan dan di mana.

"Muka kamu kok kayak keturunan taiwan gitu." Dira tersenyum.

"Iya kak. Aku juga gak tahu." Mendengar jawaban Dira, Nayeon hanya bisa mengangguk.

"Nay sini dulu." Nayeon berbalik, matanya mencari sosok yang tengah berteriak di balik kerumunan sepupu laki-laki.

"Huh Jejes. Eh Dir aku ke sana dulu yah," pamit Nayeon.

Kepergian Nayeon membuat Dira berdiam diri. Tidak ada yang bisa di ajak berbicara karena yang Dira kenal hanyalah Daffa, Helen, dan Nayeon.

***

"Daffa buka pintunya."

"Gak di kunci."

Helen dengan kesal membuka pintu kamar Daffa. Setelah pintu terbuka, nampaklah Daffa yang tengah berdiri di depan jendela. Menikmati angin untuk meruntuhkan beban.

"Daffa turun ke bawah," titah Helen. Wajahnya begitu dingin menusuk tulang-tulang.

"Untuk?" Ingin rasanya Helen memberi pelajaran pada Daffa.

"Daffa tolong jangan bersikap seperti ini. Apa kata orang-orang nanti? Termasuk Dira?"

"Apa peduliku." Dengan santainya Daffa bersandar di tembok dan menatap mata Helen.

"Lupakan Daffa, sebentar saja lupakan masalah kita. Ini adalah acara perkenalan calon tunanganmu dengan anggota keluarga. Kamu cinta kan sama dia?"

Daffa terdiam kaku begitu mendengar pertanyaan Helen.

"Kalau kamu cinta, kamu gak bakal buat dia malu."

Helen beranjak pergi setelah mengucapkan kalimat itu. Selebihnya terserah Daffa, bukankah pria itu sudah dewasa sekarang.

"Shit," umpat Daffa.

Ia perlahan berjalan keluar. Perkataan Helen menusuk kepalanya hingga membuat egonya runtuh saat itu juga.

"Dira." panggil Daffa.

Dira berbalik dan tersenyum. Kalau begini pasti jauh lebih baik.

"Ya kenapa?" Dira berjalan ke arah Daffa. Matanya berkedip sebelah.

"Ikut aku."

"Bos gak niat gandeng tangan aku gitu?"

Daffa langsung menggandeng tangan Dira menuju keluarga yang paling tua. Di sana Dira di perenalkan oleh beberapa keluarga. Rasanya sangat menyenangkan.

Terbersit rasa bersalah di hati Dira, mengingat bahwa apa yang ia jalani bersama Daffa adalah sebuah sandiwara. Apa ini akan berjalan lama? Lalu bagaimana cara Daffa menjelaskan semuanya nanti? Pertanyaan itu berputar di kepala Dira.

"Eh diam aja. Kamu kenapa?" Tanya Vio tante Daffa.

Dira tersentak. Lamunannya buyar ketika Vio berseru, ia bahkan tidak sadar jika Daffa sudah tidak ada di dekatnya.

"Gak tante. Saya nyari Daffa dulu," Ucap Dira kemudian berlalu meninggalkan kerumunan.

Dari atas Helen tersenyum kecut. Bukankah Dira pilihan Daffa? Kenapa ia merasa bahwa itu bukanlah kenyataannya. Daffa tidak pernah berlaku layaknya seorang kekasih pada Dira.

"Apa kamu mempermainkan semua ini Daffa?" Gumamnya.

Helen akhirnya memutuskan turun dan menemui beberapa keluarga termasuk ibunya Hera.

"Mas Daffa." Panggil Dira.

Daffa berbalik. Dari mana Dira tahu kalau dirinya berada di tempat ini.

"Tahu darimana aku di sini?"

"Kebetulan aja. Oiya kok gak gabung sih sama keluarga tadi? Aku ditinggal gitu aja." Dira mengerucutkan bibirnya. Matanya berkedip beberapa kali. Astaga, tanpa ia sadari Daffa menahan hasrat untuk tidak mencubit kedua pipi gadis itu.

"Males," Jawabnya singkat padat namun tidak jelas.

"Males sama keluarga sendiri."

"Terserah aku."

"Cium nih."

Daffa tidak memperhatikan Dira. Ia mengeluarkan handphonenya dan mulai sibuk.

Sampai akhirnya, terjadi sesuatu yang tidak bisa Daffa lupakan. Dira benar-benar mencium nya, di bagian pipi kanan.

"Ka... Kamu." Handphone Daffa terjatuh. Demi apapun, Viona bahkan tidak pernah melakukan ini padanya.





My Cold Man [END√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang