(33) Buatku

70 5 5
                                    

"Nasi putihnya satu, spagetinya satu, capcay seafoodnya satu. Terus minumnya apa?"

Raka menutup buku menunya. "Ice tea"

Lifya melongo. "Itu namanya ES TEH!"

"Iya santai kali Lif, gak usah ngegas kali ah." Raka memandang Lifya dengan wajah datar. Diam-diam laki-laki itu tertawa geli di dalam hatinya.

"Pakai Bahasa Indonesia aja, gak usah nginggris dulu deh."

"Ya terus kenapa?" Raka menyandarkan punggungnya ke belakang kursi sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Lifya mencebik. "Ya ini mau gimana mesennya?"

"Sekarang aku tanya, itu yang mau siapa?"

"Kamu."

"Jadi, nulisnya gimana?"

"Sesuai sama apa yang kamu bilang, gitu?"

"Te-pat sekali!"

"Gila ih!"

"Eh? Kok malah ngatain pacar sendiri? Awas pamali ngatain pacar gila."

"Oke.."
Lifya menulis pesanan es teh Raka sesuai dengan permintaannya sendiri.

"Udah nulisnya?" tanya Raka sambil menahan senyum yang ingin mengembang.

"Belom. Aku aja belum tau mau minum apa."

"Sini aku bantuin."Raka berusaha mengambil daftar menu yang dipegang Lifya.

"Eh?" Lifya menghalangi tangan Raka yang ingin mengambil daftar menunya.  "Mau ngapain? Itu udah dibagiin daftar menu satu-satu, Ka."

"Biar cepet kamu milihnya. Aku udah laper."

"Oh gitu. Aku sih pesen-hm apa ya?"

"Udah, pesen avocado juice aja."

"Tau ah, Ka."

"Jangan ngambek. Jeleknya keluar tuh."

***

Gadis itu merasa mengenali kedua orang yang sedang membelakanginya. Ia hendak berjalan mendekat. Namun itu urung ia lakukan, karena seseorang ingin mengambil sebuah buku yang juga menjadi incarannya. Saat ia sudah sepenuhnya memegang seluruh buku yang ia inginkan, kedua matanya masih menelisik ke segala arah toko.

Dan jawabannya adalah kosong.
Kemana perginya kedua orang tersebut? Apakah itu hanya imajinasinya saja?.
Sicha makin penasaran. Ia ingat betul dan sangat ingat, bahwa pundak itu serta ransel hitam itulah yang menjadi pertanda jika ia tak mungkin salah kira.
Gadis itu mengangguk-angguk mantap. Tidak salah lagi, itu memang Raka.
Lalu perempuan itu? Apa itulah saingannya untuk memiliki Raka?

Sicha membuyarkan pemikiran itu, ia kemudian melangkahkan kakinya cepat-cepat ke arah kasir dan bergegas untuk membayar.

Di sekitar area kedai makanan dan deretan restoran kecil di mall tersebut. Sicha tiba-tiba menghentikan jalannya untuk mengangkat telepon yang beerdering dari ponselnya.

Dari sebuah kaca yang menghadap keluar, Lifya menyadari siapa yang sedang menelpon menggunakan sweater putih dengan rok abu-abu itu. Lifya meletakan sendok dan garpu, Raka mengikuti tindakan Lifya.

"Ada apa?" tanya Raka khawatir.

Lifya tersenyum dan melanjutkan makannya kembali.

"Lif, kamu kenapa?"

Mata Lifya tidak bisa berbohong. Matanya sedikit berkaca-kaca. "Dia. Cewek itu di luar, Ka."

TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang