(24) Terlalu banyak, salah?

102 10 8
                                    

Part.24

Raka PoV

By. NovitaDamayanthi

Kakiku terasa sangat lemah saat aku berjalan menuruni anak tangga terakhir. Hari ini kelas pulang dengan cepat, dikarenakan ada rapat guru yang harus diadakan. Tiga puluh menit lalu Kenan sudah mengatakan padaku kalau ia tidak pulang bersama, dan aku juga sudah mengiyakan perkataan Kenan.

Nyatanya, ada hal yang membuat badanku lemas dan jantungku yang terasa kebas seperti sekarang. Tadi, saat kelas sudah dibubarkan, awalnya aku  mengira kelas sudah sepi dan kosong. Namun ternyata, ada Dobi yang berlari dan tak sengaja menyenggol tanganku yang sedang memegang botol kecil berisikan obat jantungku. Bukannya meminta maaf, Dobi malah tetap berlari keluar kelas. Ugh dasar!

Di satu sisi, aku terus merutuki Dobi yang membuat diriku harus telat mengkonsumsi obat. Tapi di lain sisi, aku bersyukur kalau Dobi tidak berbalik dan bertanya perihal obat apa yang kubawa.

Saat aku akan berjalan melewati lorong kelas, kumendengar ada suara seseorang cewek yang sedang bernyanyi. Samar-samar aku merasa kalau suara nyanyian dan hentakan kaki itu mendekat ke arahku. Sayang, sepertinya cewek itu berbalik dan tak jadi melintas di dekatku.

Awalnya kupikir itu adalah Lifya. Berhubung dengan Lifya, apa kabar cewek itu? Ah sudah lama semenjak aku dan dia diculik, kita sudah tak banyak bicara lagi.

"Den, kenapa?" Aku membalikkan kepala ku menjadi ke arah depan. Oh rupanya Pak Eno.

"Ah bapak, ngagetin aja." Kekehku pelan.

"Liatin saha¹, Den?"

Aku menggeleng, masa iya aku bercerita pada Pak Eno. Kalau kukatakan, bisa jadi ia akan bercerita pada mama. "Gak pak.'

"Eh ulah ngabohong².." Goda Pak Eno yang sudah bisa membaca ekspresi maluku. "Liatin awéwé hah?³"

Duh, Pak Eno tahu kalau aku sempat ngelirik cewek. Ya biar sudah, mau gimana lagi?

"Gak kok pak. Kok tumben nih logat Sunda-nya keluar?" Tanyaku yang berusaha merubah topik pembicaraan.

"Ya biasa. Lagi pengen aja gitu, Den." Cengir Pak Eno yang sudah biasa aku lihat ketika ia bercanda bersamaku.

"Ah saya juga bisa pak." Akupun gak mau kalah. Karena biasanya aku suka belajar-belajar sedikit tentang Bahasa Sunda, ya tanpa sepengetahuan siapapun.

"Mangga⁴, den."

Eh kurasa aku sudah lebih baik dari tadi. Ah, aku menarik nafas dulu dan menghembuskannya. Lalu ku lirik sebentar Pak Eno, "kalau masih lucu kedengarannya, bapak jangan ketawa ya?"

"Iya, Den."

"Hayu urang balik(5), pak."

Setelah aku mengatakan itu, Pak Eno tertawa terbahak-bahak dengan keras. Memang ada yang salah ya? Kenapa tawanya sampai begini?

"Pak? Pak Eno?" Kutepuk pelan punggungnya.

"Hahaha, iya Den?" Beliau mengusap dulu matanya yang mungkin saja berair. "Ada apa, Den?"

"Emangnya saya salah bicara ya pak?"

"Gak ada, Den. Tapi saya ketawa, kok bisa Den Raka pinter Bahasa Sunda? Rasanya gak pernah saya liat Aden belajar."

"Ya bisalah pak, Raka."

Karena jantungku mulai terasa lagi nyut-nyutannya, terpaksa aku harus pulang saat itu juga.

TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang