(35) Tamat

97 6 11
                                    

***

Dua Tahun Kemudian...

....

Seperti sebuah keharusan, hari ini Raka duduk di taman dengan kemeja putih dan celana joger abu-abu yang belum pernah ia kenakan sama sekali. Semenjak hari dimana ia benar-benar yakin kalau ia mengidap sakit jantung yang divonis dokter 5 tahun lalu. Semuanya hampir tidak berjalan normal seperti biasanya. Mulai dari mama yang overthinking pada Raka, hingga Pak Eno dan seluruh staff di rumahnya yang setiap saat seperti khawatir akan dirinya jika berpapasan atau duduk di dekat mereka. Lalu ada Keenan yang baru tahu bila selama ini kawannya mengidap sakit yang cukup parah dan mulai melihatnya seperti orang penyakitan yang butuh sesuatu atau obat ajaib untuk sembuh.

Tidak tahukah mereka?
Raka membenci keadaan dimana ia harus melihat semua hal yang harusnya berjalan sebagaimana mestinya malah berubah menjadi kacau.
Lama di dalam dirinya ia ingin berteriak dan meyakinkan semuanya bahwa ia baik-baik saja karena hanya dia yang bisa merasakan bagaimana kondisinya. Meskipun macam-macam obatan itu tetap menjadi penopang di hidupnya.

Lantas, separah itukah dirinya?
Masih kah pantas ia dipanggil laki-laki bila setiap orang melihatnya rapuh?
Papanya pernah bilang ketika Raka kecil berumur 5 tahun, jika anak laki-laki harus tumbuh kuat dan tidak boleh menangis.

Maka untuk hari ini saja, bolehkah Raka menangis tanpa suara sebagai anak laki-laki normal yang ingin sesuatu yang ia pinta menjadi kenyataan?
Sesederhana permintaannya pada seluruh hal yang ada dan penciptanya.

Dua tahun yang lalu Lady datang ke sekolah dengan terburu-buru bersama Antonio. Mereka berjalan setengah berlari dan hampir membuat beberapa murid siswa Velasda menjadi terhuyung karena tersenggol oleh keduanya. Raka ingat ketika itu ia tidak sadarkan diri dan pingsan di lantai atas, beruntungnya ia belum sempat menjejakkan kaki di tangga. Sehingga Raka tidak jatuh terguling-guling kebawah dan membahayakan dirinya.
Setelah itu , entah beberapa lama waktu yang membuat ia akhirnya sadar. Raka terbangun dan plafon sekolah yang ada diingatannya telah berubah menjadi plafon putih khas rumah sakit yang hampir sering ia kunjungi untuk mengecek kesehatan medisnya.

Akibat dari kejadian itulah, Raka disarankan untuk pindah sekolah oleh kepala sekolah Velasda dan mengikuti nasehat mamanya yang sudah terlanjur menerima saran pemindahan dirinya ke sekolah khusus di rumah.
Dengan berat hati, Raka terpaksa mengiyakan itu. Namun setelah perpindahan yang cukup membuat Raka murung, lagi-lagi Lady membuat keputusan diluar dugaan.

Raka kembali dipindahkan dari rumahnya yang dulu, menjadi ke villa pribadi milik Raka. Letak villa itu ada di daerah yang masih memiliki udara yang sejuk dan segar. Meski tidak sendiri, ia ditemani Antonio dan Bi Tati beserta Pak Eno. Tetapi di dalam hati Raka sangat sedih dan entah bagaimana caranya agar semua ini tidak terjadi. Namun sayang, semuanya
Sudah terjadi. Itu diluar kekuasaannya sebagai seorang anak remaja yang saat itu masih berusia delapan belas tahun, terlebih ia memiliki riwayat sakit yang mematikan.

Raka begitu hancur ketika tahu bahwa Lifya harus ia tinggalkan tanpa pamit dan penjelasaan yang mungkin saja dapat memukul perasaan gadis itu.
Berkali-kali, pada saat dirinya begitu merindukan Lifya, Raka bermimpi dan ingin memeluk Lifya tanpa harus terbangun lagi jika dunia khayalannya lebih baik dari kenyataan yang ia jalani.

Lady sudah tahu tentang anaknya yang berpacaran dengan seorang gadis bernama Lifya. Sempat sebelum Raka pindah sekolah dan pergi dari kehidupan Jakarta, Raka meminta saran pada Lady untuk diberikan waktu bertemu sebentar dengan Lifya.

"Ma, ijinin ya," pinta Raka ketika ia tengah melihat Lady sedang mengemas barang-barang keperluan Raka.

Lady yang sedang berdiri di dekat lemari besar yang ada di kamar Raka pun menoleh dan menatap heran padanya. "Raka, mama tetap tidak setuju."

TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang