(15) Bagaimana?

191 18 6
                                        

Sebelum baca ...
Tunjukin dulu bintangnya ☆
biar ada cahaya untuk mereka....

°☆Happy Reading☆°

●●●


Jam sudah menunjukan pukul empat sore. Seharusnya Raka sudah keluar kelas jam tiga sore tadi. Begitu pun Pak Eno telah menunggu dari dua setengah jam yang lalu malah jadi merasa cemas sendiri. Awalnya ia pikir kalau majikannya ini masih ada urusan di kelas. Tetapi instingnya mengatakan lain, ditambah lagi dengan keadaan sekolah yang sudah sepi.

Karena penasaran, Pak Eno langsung meninggalkan parkiran dan menuju lobby sekolah yang dijaga oleh seorang guru piket.

"Sore buk." Pak Eno mengucapkan salam dengan ramah seraya sedikit membungkuk. "Dengan Buk Anita?" Pak Eno mengetahui namanya karena ada papan nama di atas mejanya.

"Sore pak, iya saya sendiri. Ada apa?" Bu Anita menjawab dan menghentikan aktivitas menulisnya.

"Begini bu, tahu den Raka?"

Mendengar pertanyaan bapak ini, Bu Anita mengrenyitkan dahinya bingung seraya berpikir.

"Maaf, maksud saya Bhaskara Raka Negoro. Dia dikelas 11 IPA 1, bu." Pak Eno meralat maksudnya barusan.

"Oh iya iya." Ibu itu mengangguk pelan dan berkata, "tunggu sebentar pak ya."

Pak Eno mengangguk dan memperhatikan Bu Anita yang sedang mengutak-atik tablet pintarnya. Entah apa yang dilakukan olehnya, Pak Eno hanya ingin tahu apakah Raka masih ada di sekolah atau tidak. Ya pikiran Pak Eno menginginkan kalau Raka masih di sekolah, tetapi kalau tidak? Apa yang harus ia katakan pada Nyonya Lady Arnata?

"Pak, ini identitas Raka?" Bu Anita memperlihatkan identitas Raka yang tertera di dalam tablet tersebut.

"Iya itu dia, bagaimana bu?"

"Maaf pak. Tetapi dari awal masuk kelas, Raka memang tidak ada."

"Kok bisa bu?" Pak Eno heran, "monggo, cobak di cek lagi bu. Mungkin salah kali, wong tadi saya yang antar ke sekolah."

"Tidak pak, Raka memang tidak hadir hari ini. Berdasarkan absensi fisik juga menunjukan kalau Raka tidak hadir."

Pak Eno masih belum tahu, lalu ia bertanya lagi. "Bu, ibu memang sudah tahu kalau Raka tidak masuk kelas lewat mana?"

"Bapak, sekolah kami sudah menggunakan digital absen. Jadi, setiap murid yang akan memulai pelajaran. Baik ia terlambat atau tidak, mereka tetap harus meng-scan sidik jari mereka."

"Ya mungkin, mungkin den Raka lupa scan kali bu. Bisa aja kan bu? Coba di cek lagi," ucap Pak Eno terbata-bata.

Jangan salahkan Pak Eno yang banyak tanya ini. Bagaimana pun ia sudah diberikan kepercayaan oleh mamanya Raka untuk mengantar jemput kemana pun Raka pergi. Mengingat juga kalau mencari pekerjaan di Jakarta amatlah susah.

Bu Anita menarik nafas panjang dan menjelaskan kembali pada Pak Eno. "Maaf bapak. Apabila Raka tidak scan tadi pagi, maka alat scanner itu langsung memberitahu saya kalau ada murid yang tidak hadir. Jadi pagi tadi, saya lah yang langsung menuju kelasnya. Tapi, setelah saya cek, tempat duduk Raka memang kosong." Meski sudah berkali-kali menjelaskan hal yang hampir sama, Bu Anita masih tersenyum ramah pada Pak Eno.

Sementara itu, setelah Pak Eno mendengar rentetan penjelasan dari guru piket. Ia merasa seperti terjerembab kedalam lubang besar. Saat itu juga ia menjadi was-was sendiri, tak henti hentinya Pak Eno mengedarkan pandangannya ke arah pintu lobby yang terhubung langsung pada halaman SMA Velasda.

TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang