(8) Ketentuan Hatinya

258 20 2
                                    

(Revisi)


Telepon Emma berdering, tumben-tumbenan Lifya ingin menelpon Emma lewat via Line Massanger.
Mungkin ia sedang banjir kuota. Begitu pikir Emma. Segera ia menjawab telepon itu dan mendekatkannya ke telinga.

"Haiiii Emma cantikkkkkkkk!!!" Lifya sengaja membuat suara cempreng diseberang sana.

"Etdah buset. Tumben nelpon gini? Ada paan?" Emma balik bertanya pada Lifya dengan nada nyeblaknya.

"Ada PR shayyyy?"

"Biasain aja kali neng! Jadi PR doang? Akunya gak ditanyain waktu di sekolah tadi? Kalau PR sih gak ada, tadi cuma ada tugas aja dari Bu Rani." tutur Emma yang dibuat-buat menjadi manis. Iya, semanis janji mantan buat balikan. Wlek..

"Hahaha resek. Oooh gak ada pr, syukur deh. Jadi gimana? Kangen gak sama aku?" celetuk Lifya, sambil menghamburkan badannya di atas tempat tidur.

Mendengar Lifya yang mulai bercanda, akhirnya Emma ikut membalas candaan sahabatnya ini.
"Gak kangen tuh sama kamu Lif. Malah kelas aman-aman aja."

"Hoo masa? Masa? Kenyang aku dengar kamu bilang gitu." Kali ini alis Lifya terangkat tak percaya dan ia kembali melanjutkan kata-katanya, "serius gak kangen? Cari jawaban dimana kalau gak ada aku, My Emma Sadahani?"

"Lalalala," tirunya dengan nada menghindar. "Jadi tadi aku ya nanya google sama contek masal. Bu Rani ngasi soal tuh gak tanggung-tanggung! Habis kamu gak sekolah, kenapa coba kamu mesti kepilih buat ke balai kota? Kan bisa yang lain Lif." gerutu Emma tak terima, bila sahabatnya tak berada di sisinya barang sehari saja.

Hari itu Lifya memang tidak bersekolah, ia dispensasi untuk menghadiri technical meeting lomba catur. Padahal, sebenarnya Lifya tidak mengikuti lomba tersebut, tapi bagaimana mungkin ia menolak kalau guru yang terkenal killer di SMA Velasda yang menyuruhnya. Maka dengan ini, Lifya memantapkan hatinya dan memilih manut-manut saja. Atau iatilah kasarnya, cari aman!

"Uuuuu sayang. Hahaha," tawa Lifya pecah seketika. "Ya besok juga aku pasti sekolah, udah dulu ya Ma. Aku mesti les nih."

"Cieee. Hemm ketemu cogan lagi tuh. Oke deh sana, bye Lif."

"Diem kamu, Bian!" ejek Lifya yang cepat-cepat menutup sambungan telepon agar Emma tidak berteriak jengkel padanya karena telah membalas telak ledekannya.

💐💐💐

"Ma..." Suara itu terdengar sedikit parau di telinganya.

Lalu perempuan itu hanya menoleh pada seorang yang memanggilnya tadi.
Ternyata itu Antonio, ia melihat mamanya sedih dan mendura sendiri. Tak pernah Lady Arnata terlihat semurung itu, kali ini ia merasa hidupnya penuh akan beban.

"Mama makan dulu ya? Aku panggil Bi Katya, buat ambilin makanan. Kasian mama kalau gak makan nanti sakit." Bariton itu terdengar lemas dan mendayu-dayu dipikiran mamanya.

Lady menggeleng lemah, "Mama gak mau makan." Ia pun menjawab pertanyaan Antonio dengan cepat dan tetap terduduk di sisi Raka yang masih terbaring.

"Tapi ma? Mama harus makan ya?" bujuk Antonio terus.

"Tadi dokter bilang apa?" tanya Lady yang malah balik bertanya.

"Dokter bilang, kalau Raka harus minum obat ini," seraya menyodorkan benda tabung yang didalamnya berisi beberapa butir pil berwarna putih. "Kata dokter, Raka harus minum obatnya jika Raka merasa nyeri di dadanya."

"Raka sakit jantung, mama tahu itu dari dulu. Mama pikir, kamu dan Raka tidak akan memiliki riwayat sakit seperti kakekmu." lirihnya pada Antonio, "tapi dugaan mama melesat. Ini hal yang paling menakutkan bagi mama, sayang. Mama selalu berdoa agar Raka dan kamu, selalu baik-baik saja."

TerlambatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang