Hari ini dibuka dengan duka sebab aku diantarkan lagi ke sebuah sekolah yang tak pernah masuk menjadi bagian dari impianku. Peraturan pemerintah kota tahun 2008 ini telah merenggut hakku untuk duduk di salah satu bangku sekolah menengah atas yang telah jadi prioritas ketigaku. Hanya karena aku anak kabupaten lalu aku pun jadi kelas buangan yang diusir dengan begitu cadasnya meskipun nilai yang aku miliki tak seburuk itu.
Sudahlah mungkin ini yang disebut dengan nasi telah menjadi bubur. Lagipula aku telah lebih kuat menapakkan kakiku di sekolah ini, meskipun seragam ini telah menyeret harga diriku untuk kabur bila diajak reuni suatu hari nanti. Sebuah sekolah dengan atmosfir asing. Penghuninya pun unik sangat berbeda dengan SMP-ku dulu, di sini hanya ada dua kelompok. Kelompok alim dan kelompok begundal. Mungkin aku cukup kasar menuliskannya, tapi itulah kenyataannya.
Hari ini hari terakhir MOS, aku sangat bahagia. Walaupun peploncoan telah dilarang di mana pun tetap saja prakteknya berjalan di mana-mana termasuk di sini. Kita memang tidak dipukul atau dianiaya, tapi kita diperlakukan keras semacam militer. Aku tak suka itu. Meskipun aku tak menyukainya, aku layaknya seorang pleghmatis hanya bisa mengeluh lewat tulisan. Seperti namaku, Aksara, yang selalu bernyawa ketika berjumpa dengan sastra. Aku merasa hidup saat bergumul dengan dunia kata.
Ku bolak-balik surat yang menjadi tugas paling menarik saat MOS. Tapi aku tidak tahu untuk siapakah puisiku ini. Seminggu yang membosankan itu telah membuat otakku enggan mengenal satu pun nama kakak kelas. Matilah aku sekarang kalau surat ini tak juga memiliki calon penerima.
"Kamu ngasih surat ke siapa Sya," kataku panik kepada Arsya sahabatku dari SD yang ikut jadi korban transmigrasi masal akibat peraturan kota yang menyebalkan itu.
"Aku kasih ke Kak Pandu," jawabnya ringan.
"Emang kamu belum ngasih suratmu?" tanya Randu yang telah berhasil menyerahkan surat cintanya ke Kak Martha. Kakak kelas tercantik sepanjang MOS.
Aku pun menggeleng dengan kepanikan yang tak bisa aku sembunyikan.
"Ih buruan kasih sebelum waktunya abis," ucap Arsya yang ikut panik.
"Tapi buat siapa?" tanyaku masih tidak punya tujuan
"Ehm..." Randu dan Arsya pun membantu mencari mangsa untukku.
"Udah ke Kak Wira aja. Tuh orangnya di sana."
Arsya pun mendorongku berjalan ke arah Kak Wira yang sedang dikerubungi banyak anak baru sepertiku. Sepertinya dialah kakak angkatan tertampan menurut teman seangkatanku. Bisa dibilang Kakak kelas itu tinggi, putih, murah senyum dan pandai bergaul. Mungkin itulah daya pikatnya. Tapi aku tidak peduli. Yang pasti saking banyaknya surat yang didapatkan, dia sampai membawa kotak kemana-mana. Setelah ku perhatikan cukup lama haruskah dia yang menjadi penerima suratku? Aku pun berbalik lagi ke tempat Arsya dan Randu.
"Kenapa lagi? Malu?" Randu pun jadi ikut maju karena melihat wajah panik yang telah begitu dia kenal.
"Pinjem bolpen," jawabku gagu, "belum tak kasih nama di amplopnya."
"Ya ampun, cepetan nih." Arsya langsung memberikan bolpen yang sejak tadi disakunya.
Aku menuliskan di amplop itu dengan canggung.
Untuk: Kak Wira.
Aku pun langsung bergegas menuju tempat kakak itu berada. Dia sedang menyambut semua surat yang dialamatkan untuknya dengan keramahan dan senyum lebar. Pantas saja banyak yang membeikan surat kepadanya selain tampan, dia juga terlihat ramah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stairways to Happiness
Teen FictionSurat cinta tugas MOS membawa dunia Ara yang tenang menjadi tak beraturan sebab kakak kelas yang namanya baru diketahuinya beberapa jam lalu dengan seenak udel menerima cintanya. Padahal tulisan itu hanya sebuah coretan biasa yang tidak ada maksud a...