Chapter 1

40.7K 1.7K 29
                                    

Tumpukan buku dan beberapa alat tulis yang berserakan di meja makan membuat mataku gatal.
Mau tidak mau dengan sisa tenaga yang ada, aku mengambil buku-buku tersebut dan menyimpannya kembali di rak buku. Alat tulis Naya kumasukkan ke dalam kotak pensil. Setelah itu aku segera merebahkan diri di sofa besar.

Sebal banget rasanya melihat keadaan yang berantakan kayak gini saat pulang kantor. Tapi buat Naya, sahabatku, itu biasa-biasa saja.

Kuakui level perfeksionisku itu emang di atas rata-rata dan kadang itu juga menjadi sumber penderitaanku. Kadang Tuhan berusaha menyadarkan aku kalau perfeksionisku itu gak bagus. Salah satunya dengan menghadirkan Naya dalam hidupku. Sahabat yang paling mengerti aku luar dalam termasuk sifat burukku itu. Tapi anehnya Naya seakan gak peduli dengan itu, dia tetap berantakan dan seenaknya saja. Anehnya pula, aku gak pernah berhasil bisa jauh-jauh dari dia bahkan sampai rela satu apartemen dengannya. Jadi, ya begini, setiap pulang kantor aku masih harus merapikan apartemen kami berdua.

Oh ya, Rasabrina Andrista, nama lengkapku. Aku biasa dipanggil Sasa.

"Eh, udah pulang, Sa!" Naya berkata sambil menuju ke arahku. Naya menepuk kakiku, memberi tanda kalau dia akan duduk di ujung sofa.

"Ih, ngapain sih kamu tuh nyempil-nyempil aja, gak lihat apa aku udah tepar begini!"semprotku dengan sewot.

"Yee, tuan putri sewot bener, ntar makin stres loh," ledek Naya.

"Gak lucu, tau!" balasku.

"Sebel banget gak sih, bos aku tuh enggak bisa lihat aku santai dikit!"
aku langsung nyerocos," Baru juga kelar proyek, sekarang udah langsung disodorin lagi proyek baru!"

"Siapa suruh hasil kerja kamu selalu flawless, jadi ya gitu!" sahut Naya. "Makanya, jadi designer interior tuh gak usah sempurna banget, biar gak dikasih kerjaan banyak."

"Ya, enggak gitu juga lah, Nay," sanggahku.
Aku gak terima lah kalau ini seakan-akan karena akibat sifat perfektionisku.
"Harusnya bos aku ngertilah kondisiku!"

Naya menepuk kencang kakiku sebelum berkata,"Heh, kondisimu yang mana? Orang kantormu mana tahu kalau kamu selalu kecapekan gini setiap pulang kantor, sedangkan di kantor selalu tampil sempurna!"

Eerr, yang diomongin Naya itu benar banget.
Mana mereka tahu kalau aku selalu tampil sempurna.

"Terus gimana dong, Nay?" rengekku manja.

"Ih, kamu tuh ya ngeyel banget jadi orang, dari dulu kan aku udah bilang, ask for help, Sa! Ask for help!" Naya mulai emosi.

"Gak mau, ah...Ntar mereka ngeremehin lagi!" putusku cepat.

"Okay then, deal with it! Suck it up, Babe!" Naya menghela napas, mencoba menahan emosinya.
"Pusing ah ngomong ama kamu, Sa"

Aku diam, mencoba mencerna kata-kata Naya yang memang banyak benarnya. Kalau saja aku gak mau menangani setiap proyek sendirian, pastinya aku enggak akan kecapekan seperti ini.

Sebagai designer interior, aku tuh memang dituntut bisa semuanya, mulai dari mengerti soal bangunan, warna cat, ornamen ruangan, dekorasi ruangan, sampai soal perincian  biaya dan barang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebagai designer interior, aku tuh memang dituntut bisa semuanya, mulai dari mengerti soal bangunan, warna cat, ornamen ruangan, dekorasi ruangan, sampai soal perincian biaya dan barang.

Nah, banyak sih kolegaku yang selalu berbagi tugas dalam satu proyek. Sedangkan aku lebih milih kerja sendiri.
Itu yang selalu diprotes sama Naya, katanya aku tuh gengsian. Mungkin juga, cuman kalau akalku bilang aku hanya gak ingin merepotkan siapa-siapa.

Make sense?
Enggak deh!
Kalau namanya kerja tim, ya berarti semua anggota tim harus memikul beban yang sama dan tidak ada yang merasa direpotkan.

Ya, jadi itu mungkin hanya alasanku saja, supaya aku bisa mencapai level perfeksionis yang aku gariskan sendiri.

Berarti aku gak punya pilihan selain deal with it and suck it up, sesuai saran Naya.

Sanggup enggak ya?

Rancangan Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang