Haloha annyeong!
Apa kabar sayangkuuu?!
Keylan siapa, thor?
Temen Alexandro. Inget gak?Jangan lupa vote! 🌟🌟🌟
Happy reading! 💕💕💕***
Nara segera membuka mata begitu cahaya silau membuat matanya tidak nyaman. Dia mengerjap beberapa kali. Lampu putih terasa begitu lebih terang dari biasanya.
"Bintang, matiin dong lampunya," Nara menggaruk kepala dengan kasar, sehingga rambutnya berantakan.
Nara menjepit hidung rapat-rapat begitu aroma yang sangat dibencinya tercium. Dia memejamkan mata yang sudah sedikit berair. Perutnya, secara mendadak, seperti diremas tanpa perasaan.
"Bintang?! Bulan?!" Nara berusaha berteriak, tapi yang terdengar justru suara lemah yang sangat memprihatikan.
Memberanikan diri, akhirnya Nara membuka mata dalam satu detik. Tidak ada siapa-siapa di ruangan itu, dia sendirian. Kepala Nara bergerak memperhatikan penampilan ruangan yang jelas-jelas sangat berbeda dengan kamar tidurnya. Seingatnya, hanya ada tiga buah ranjang kecil dan tiga buah lemari butut, catnya juga berwarna cokelat muda, bukan putih bersih seperti ini. Nara benar-benar panik, apalagi di ruangannya saat ini ada sofa mahal, TV layar besar, pengharum ruangan berkelas, AC di sudut ruangan, dan juga gorden emas dengan ukuran besar.
Nara bangkit dari kasur yang ia tempati. Baru saja satu langkah, tubuhnya sudah jatuh ke lantai karena kakinya terasa sangat berat. Mata Nara terbelalak saat darah keluar karena kulitnya sedikit sobek, sebuah jarum yang tertancap di telapak tangan terlepas secara paksa.
"Aaaa!" Nara refleks berteriak ketika sebuah besi hampir saja menimpa tubuhnya.
PRANG!
Dada Nara bergerak naik turun saking terkejut. Tubuhnya tidak terluka, tidak tertimpa besi itu. Sekali lagi, Nara mencoba bangkit dengan penuh susah payah. Ia meringis karena tangannya sekarang sangat perih. Jangan pedulikan dulu darahnya, Nara hanya perlu keluar untuk saat ini.
Baru saja Nara merasa lega karena bisa berdiri, ia kembali memekik ketika sesuatu yang menempel di dadanya terlepas paksa. Ia kembali terjatuh dengan mulut terbuka ketika sebuah benda mirip televisi terjatuh hingga layarnya pecah.
Kaki Nara yang tidak bisa lagi bergerak diseret oleh tangan Nara yang semakin mengeluarkan darah. Kepala Nara sudah sangat sangat pening, sampai penglihatannya sedikit kabur. Nara memaksakan tubuhnya untuk bergerak mendekati sebuah pintu.
"Tolong! Ibu!" teriak Nara.
Nara menangis sekencang-kencangnya ketika beberapa orang masuk dan segera menolong. Tak peduli siapapun yang mengangkat tubuh bergetarnya saat ini, Nara menenggelamkan kepalanya di dada bidang itu dan menangis sesegukan.
"Nggak mau!" Nara enggan untuk lepas dari pangkuan itu. Dia tidak mau terbaring di kasur itu lagi, rasanya mengerikan.
"Nyonya yang tenang, ya?" terdengar suara seorang wanita baya bersamaan dengan hangatnya tangan Nara yang gemetar.
"Bawa saya pergi dari sini! Saya takut!" tangis Nara semakin menjadi.
"Ada saya dan Pak Eric di sini, Nyonya aman sekarang."
Sedikit demi sedikit, Nara mengangkat kepalanya. Pertama yang Nara liat adalah senyum seorang wanita paruh baya, mungkin seusia Bu Diah, dan sebuah mata yang menatapnya penuh kesedihan. Diakhiri dengan anggukan yang meminta Nara untuk percaya, bahwa tidak akan terjadi hal buruk.
Meski masih sangat ketakutan, Nara mencoba percaya pada wanita itu. Perlahan, ia melepaskan cengkramannya pada baju pria yang menggendongnya. Dan ketika tubuhnya telah terbaring sempurna, mata Nara melotot ketika melihat orang yang sangat dia takuti ada di depan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma [Tamat]
Ficción GeneralInara hanya gadis biasa berusia 18 tahun yang tumbuh besar di panti asuhan. Tidak ada waktu untuk memikirkan asmara, yang ia tahu hanya bekerja untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Dia merasa memiliki kewajiban untuk membantu ekonomi panti. Tapi t...