Langit bergemuruh membuncah, awan-awan putih tercacah. Tidak kulihat lagi pendar meski secercah. Seperti kita yang dipotong kisah.
Aku merilik ke sana kemari, mencari ceceran hati yang kuharap masih bisa kubawa kembali. Membersikannya, merapikannya, menyatukannya jika masih bisa.
Tapi tidak kutemui, entah kemana ia lari. Diam-diam rintik mengelus bagian atas kepalaku, lama-lama semakin keras dan banyak. Aku mencari tempat berteduh sambil melangkah berdecak. Membunuh senggang bersama detak.
Akhirnya aku terdiam sendiri, melihat air yang berlari-lari mengaliri. Sesekali rintik menggodaku dengan mencipratkan sedikit rasa dingin yang malu-malu.
Sejenak aku termenung, berharap ada kamu di sini, memberi jaket pada ragaku yang terlalu ringkih untuk menjalani hari sendiri. Sayangnya kamu sudah pergi, mengingatmu malah membuatku semakin menggigil tanpa alasan yang dapat kutemui.
Dipayungi hujan, sendirian.
17 Maret 2019.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sajak Tak Bertuan
PoetrySebuah celotehan perempuan yang sedang menikmati luka dengan istimewa. 🏵10 Okt: 01 - Puisi Amatir