Empat Puluh Satu

17.9K 962 184
                                    

Seperti hari-hari sebelumnya, Salsha pergi sendiri ke sekolah. Tak ada lagi pesan singkat yang selalu Aldi kirimkan setiap pagi. Tak ada lagi sapaan hangat saat Salsha keluar dari rumahnya. Kini Salsha sendiri, tanpa Aldi.

Salsha memasuki kelasnya dan menyapa ketiga sahabatnya itu seperti biasa. Kemudian ia duduk di bangkunya dan menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya. Ia begitu lemas dan tak bersemangat hari ini.

"Jadi besok tuh Bryan bakal datang kesini. Katanya juga dia ikut tanding." Cassie berkata dengan semangat menggebu-gebu.

"Bryan kan atlet basket kok bisa futsal?" tanya Steffi heran. Pasalnya selama di kompleks perumahan mereka, Bryan selalu mengenakan stelan basket bukan futsal.

"Nggak tahu. Katanya biar bisa ketemu gue." Cassie menghendikkan bahunya acuh, "Terserah Bryan mau jadi atlet apa aja. Yang pasti besok gue ketemu sama dia."

Salsha mendengar semua ucapan Cassie tapi otaknya lola mencerna semua ucapan itu. Lima menit kemudian ia tersadar dan segera mengangkat wajahnya, ia menoleh ke belakang, "Pacar lo mau kesini besok?"

Cassie manggut-manggut, "Yoi. Emang kenapa?"

"Mampus gue," secara refleks Salsha menepuk wajahnya. Sudah bisa di pastikan jika besok Bryan dan Aldi akan bertemu. Dan mungkin juga Aldi akan semakin benci dan marah kepadanya karena sudah menutup-nutupi perihal Bryan. Salsha frustasi, masalah Iqbaal belum juga selesai kini masalah Bryan juga datang.

"Kenapa, Sha?" Bella heran melihat respon Salsha, "Lo mampus apaan kalo Bryan ke sini?"

Salsha menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tersenyum tipis, "Nggak, kok. Nggak papa."

Salsha kembali menatap ke depan. Ingin rasanya Salsha mati saja daripada harus di hadapkan di situasi seperti ini.

Gue harus nemuin Bryan dan cegah dia buat datang kesini. Gue nggak mau dia makin memperburuk hubungan gue dan Aldi. Iyaa, gue harus temuin Bryan. Batin Salsha.

*****

Aldi melahap baksonya dengan lahap seorang diri di kantin. Biasanya ia selalu berdua ke kantin bersama Iqbaal. Namun sekarang rasanya tak mungkin, ia sudah tak sudi menganggap Iqbaal sebagai sahabatnya. Sahabat macam apa yang berusaha merusak hubungan sahabatnya sendiri. Sahabat macam apa yang ingin menikung sahabatnya sendiri. Iqbaal sudah pantas menjadi sahabatnya.

Jelas Aldi sangat kecewa dengan apa yang Iqbaal lakukan. Selama ini, Iqbaal selalu memanas-manasi Aldi untuk selingkuh, lelaki itu juga mengenalkan beberapa gadis kepadanya. Tujuan lelaki itu hanya satu, merusak hubungan Aldi dan Salsha.

Aldi terkekeh, merasa bodoh dengan dirinya sendiri. Harusnya ia bisa mempertahankan hubungannya dengan Salsha. Harusnya ia tak membiarkan Iqbaal merasa menang karena rencananya merusak hubungan mereka berhasil. Harusnya Aldi bisa membuktikan mau seberasa keras pun usaha Iqbaal menghancurkan hubungan mereka, mereka berdua tak akan pernah putus, karena Aldi dan Salsha saling mencintai.

Namun, untuk sekedar menerima maaf dari Salsha dan memulai semuanya dari awal rasanya berat. Aldi sudah terlanjur kecewa kepada Salsha. Dan rasanya, untuk bisa menjadi Aldi yang baik dan lembut itu tak akan mungkin lagi. Karena memang, tabiat asli Aldi itu kasar dan tempramental.

"Ngapain duduk disini?" Aldi berkata dengan dingin saat Salsha baru saja duduk di depannya. Gadis itu juga meletakkan sepiring batagor di meja tersebut.

"Mau makan bareng sama kamu," sahut Salsha acuh. Ia berusaha menutup rasa malunya. Ia akan mengejar Aldi bagaimanapun respon lelaki itu terhadapnya.

HURT (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang