Enam Puluh Enam

16.3K 1.2K 163
                                    

Pagi harinya, Salsha terbangun setelah menangis sepanjang malam. Hatinya sudah berangsur membaik dan ia sudah sedikit mengkhilaskan alur cintanya dengan Aldi. Biarkan Tuhan saya yang menentukan takdirnya. Salsha hanya menjalankannya saja.

Salsha membuka matanya dan terkejut melihat Kania yang sudah tampak rapi dengan pakaian olahraganya. Salsha duduk dan menatap jam dinding kamarnya. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi.

"Kak Kania mau kemana?"

Kania mengalihkan wajahnya dari cermin dan menatap Salsha dengan senyum tipis, "Mau jogging. Lo mau ikut?"

Salsha menggeleng pelan. Ia merasa badannya belum siap melakukan aktifitas, ia masih ingin bermalas-malasan, "Nggak deh, Kak. Salsha masih malas."

Kania mengangguk mengerti. Ia pun duduk di pinggir kasur Salsha dan mengusap bahu gadis itu, "Gue paham, sih, lo masih ingin malas-malasan atau merenungi nasib lo. Tapi jangan lama-lama, ya. Move, dong. Jalan lo masih panjang. Jangan mau stuck sama satu cowok yang nggak sayang sama lo."

Salsha tersenyum tipis. Kania begitu mengerti perasaannya tanpa perlu di kasih tahu. Sosok Kania yang Salsha butuhkan. Mengerti tanpa di jelaskan.

"Pelajaran berharga yang lo dapat dari ini, cintai dulu diri lo baru cintai orang lain. Pikirin dulu kebahagiaan diri lo, baru lo pikirin kebahagiaan orang lain. Sha, lo gak kepikiran gitu lari dari zona lo saat ini?" tanya Kania lagi.

"Lari? Maksudnya?"

"Pacaran sama Aldi bikin lo lupa ngerawat diri. Rambut lepek, muka kusam, kulit kering. Itu semua karna waktu lo terfokus sama Aldi makanya lo nggak peduliin diri lo." jelas Kania sembari menyentuh bagian tubuh Salsha yang ia katakan tadi.

Salsha melihat dirinya sendiri dan membenarkan perkataan Kania. Salsha mulai berfikir, apakah karna fisiknya yang seperti ini membuat Aldi selingkuh.

"Lo mau move on 'kan? Lo juga mau balas dendam sama Aldi 'kan?" tanya Kania lagi. Ia menjadi gadis yang cerewet sementara Salsha hanya diam saja.

Salsha diam. Ia mungkin ingin melupakan Aldi. Tapi, untuk balas dendam, sepertinya Salsha tak sanggup.

Melihat respon Salsha yang hanya diam membuat Kania kembali bersuara, "Gue kasih lo waktu berpikir selama gue jogging. Pikirin baik-baik, deh. Keluar dari zona nyaman lo dan mulai melangkah. Jangan mau di tindas dan di sakitin mulu. Lo juga berhak bahagia."

Kania tersenyum penuh arti dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu. Di depan pintu, Kania menghela nafas kasar. Ia teringat apa yang membuatnya jadi seperti ini. Sosok masalalu yang memberikan sejuta pelajaran berharga dalam dirinya.

"Makasih, Co. Karna lo gue bisa berbaikan dengan diri gue sendiri." lirih Kania sembari melanjutkan langkahnya.

Sementara itu Salsha masih termenung di kasurnya. Ia betul-betul merasapi semua perkataan Katya. Tak ada salahnya keluar dari zona nyaman. Ia harus bisa melupakan Aldi dan memulai kehidupannya yang baru. Tanpa lelaki itu lebih tepatnya.

Dan Salsha sudah memutuskan untuk menerima usulan Kania.

****

Pagi-pagi sekali, Aldi sudah berdiri tegap di pintu kelas Salsha. Semalaman ia tak bisa tidur. Bayang-bayang kesedihan Salsha saat melihatnya bersama Katya terus saja berputar dan tak ingin hilang. Aldi khawatir dengan keberadaan gadis itu.

Lima belas menit kemudian, beberapa teman sekelas Salsha mulai berdatangan. Tetapi, Aldi tak melihat kedatangan gadis yang ia tunggu-tunggu. Tak biasanya Salsha datang sesiang ini.

HURT (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang