Tujuh Belas

24.9K 1.1K 77
                                    

Karel mengusap lengan Salsha, berusaha menenangkan gadis itu. Semenjak menemukan Salsha sedang menangis di pinggir jalan dan bahkan sampai sekarang setelah Karel membawanya ke taman, gadis itu masih saja menangis.

Karel sudah tak tahu harus melakukan apa. Ia juga tak tahu apa yang menyebabkan gadis itu seperti ini. Maka, hal yang Karel lakukan adalah mengusap lengan Salsha dan menunggu sampai gadis itu mengatakannya sendiri.

Karel tentu saja emosi melihat keadaan buruk Salsha. Seumur-umur saat mereka bersahabat, baru kali ini Karel melihat Salsha menangis tersedu-sedu. Karel mengepalkan tangannya. Sudah sejak lama, Karel menjaga dan melindungi gadis itu. Dan ia tak akan biarkan Salsha di perlakukan seperti itu.

Salsha menepis airmatanya. Ia sudah lelah menangis. Salsha mencoba tersenyum menatap Karel. Walaupun perasaannya masih sangat sakit. Salsha memegang lengan Karel, "Anterin gue pulang."

Bola mata Karel hampir keluar dari matanya. Ia tak menyangka, hampir satu jam ia menemani Salsha disini, gadis itu malah meminta di antar pulang.

"Nggak mau!" tolak Karel tegas, "Kasih tahu dulu lo habis ngapain. Baru gue antar pulang."

Salsha tak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada Karel. Salsha tahu Karel dan Aldi mempunya sifat yang sama, mudah emosi. Ia tak ingin nantinya Karel memberi perhitungan kepada Aldi.

Salsha bangkit dari duduknya, "Gue nggak papa. Dan kalo lo nggak mau nganter, gue bisa pulang sendiri."

Karel menghela nafas saat Salsha malah menjauhinya. Karel mengejak Salsha dan menahan lengan gadis itu, "Lo kenapa?" tanya Karel lagi, kali ini lebih tegas, "Aldi?"

Airmata Salsha kembali jatuh. Ntah mengapa, mendengar nama Aldi membuat Salsha sakit. Melihat Salsha yang kembali mengeluarkan airmatanya membuat Karel meringis. Ia belum pernah melihat Salsha jadi selemah ini.

Karel mengusap lembut rambut Salsha dan membawa gadis itu ke pelukannya, mencoba menenangkan, "Sttt, jangan nangis lagi."

Salsha mengangguk, tak mau membuat Karel cemas. Salsha melepaskan pelukan Karel, "Gue udah nggak papa, kok."

"Yaudah gue anterin lo pulang," Karel mengalah. Ia tak ingin membuat Salsha kembali bersedih. Jika gadis itu tak mau terbuka, tak masalah. Biar Karel sendiri yang mencari tahu.

Salsha memeluk Karel pinggang Karel dengan sangat erat. Salsha tahu, tak seharusnya ia melakukan ini dengan Karel disaat dia masih memiliki Aldi. Apa yang ia lakukan dengan Karel, menangis di hadapan lelaki itu, bahkan memeluk pinggang lelaki itu sangat salah. Tapi, Salsha butuh sandaran sekarang. Ia merasa hubungannya dengan Aldi terlalu pelik.

Entah ia tak terlalu bodoh, atau Aldi yang keterlaluan.

Motor Karel berhenti tepat di depan rumah Salsha. Salsha turun dan menyerahkan helm kepada Karel. Karel menerimanya, ia tersenyum manis kepada Salsha. Sekedar memberi sedikit semangat.

"Gue nggak pernah maksa lo buat cerita apa masalah lo. Gue hargain privasi lo, Sals. Tapi kalo lo udah nggak tahan dan butuh teman curhat, gue akan selalu ada buat lo."

Salsha tersentuh mendengar ucapan Karel yang terdengar tulus. Selain Ayahnya, Karel lah laki-laki yang tidak pernah menyakitinya. Lelaki itu selalu berusaha membuatnya bahagia.

"Kalo lo merasa tertekan, karena Aldi atau siapapun itu, lo bisa cerita ke gue. Gue ini sahabat lo," imbuh Karel.

Salsha membalas ucapan Karel dengan senyuman, "Lo selalu ada saat gue butuh. Kadang gue mikir, kenapa kita nggak satu sekolah biar lo bisa jagain gue mulu."

Karel mengacak rambut Salsha, "Apa perlu sekarang gue pindah sekolah?"

Salsha terkekeh, "Gue cuma bercanda."

HURT (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang