Delapan Puluh Dua

9.6K 736 145
                                    

Pulang sekolah, Salsha berdiri di depan gerbang sekolahnya. Ia ingin menunggu Aldi dan berbicara dengan lelaki itu. Ia tak ingin Aldi menuduhnya atas kesalahan yang tidak pernah ia lakukan sama sekali. Ia juga tak ingin hubungannya semakin merenggang dengan Aldi. Salsha memang tak berharap banyak, meskipun tak bisa jadi teman lagi, Salsha tak ingin keduanya berakhir dengan permusuhan.

"Sals, nggak usah nungguin Aldi. Mending lo pulang aja. Aldi itu keras kepala. Dia nggak bakal dengerin lo." ujar Steffi. Ia bukan tidak ingin hubungan keduanya membaik. Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk Salsha meyakinkan Aldi.

"Kalo nggak sekarang kapan lagi, Steff. Bukan gue orangnya, gue nggak mau Aldi salah paham." Salsha tetapi bersikeras.

"Tapi janji, kalo ada Iqbaal mending jangan ngobrol sama Aldi. Nanti mereka malah berantam." peringat Steffi lagi. Ia menemani Salsha untuk menunggu kedatangan Aldi di gerbang sekolahnya.

Dari jauh, Salsha melihat Aldi menaiki motornya yang disusul oleh Andirah di belakang Aldi. Salsha menghela nafasnya. Ia berdiri tepat di depan motor Aldi sehingga lelaki itu menghentikan laju motornya tepat di depan Aldi.

"Ald, gue mau ngomong." ujar Salsha sembari merentangkan keduanya tangannya.

Aldi hanya diam dan tak memandang Salsha sedikitpun. Lelaki itu malah menatap ke samping.

"Ald, untungnya sama gue apasih, nyebarin itu? Lagipula, hubungan kita kan udah membaik. Gue udah nggak dendam sama lo. Nggak mungkin gue ngelakuin itu."

Lagi-lagi Aldi hanya diam. Lelaki itu tak memandang Salsha. Bagi Aldi, sudah cukup semua. Ia tak ingin terlibat perbincangan apapun dengan Salsha, termasuk masalah ini.

"Aldi, pliss jawab. Jangan diam aja," desak Salsha, "Gue di fitnah. Lo harus percaya sama gue." Salsha ingin menangis sekarang. Steffi yang berada disampingnya hanya mampu mengelus bahu Salsha. Ia tak ingin ikut campur dengan masalah keduanya. Begitu juga dengan Andirah, ia hanya diam di belakang Aldi.

"Steff, bilang ke teman lo minggir. Gue mau lewat." kata Aldi kepada Steffi. Ia bahkan tak menatap Salsha, melirikpun tidak.

Mendengar ucapan Aldi membuat Salsha merasa sedih. Ia tak suka diacuhkan seperti ini oleh Aldi. Ia ingin Aldi berbicara kepadanya, "Ald, lo marah besar ya sama gue? Nanti lo nyesal kalo tau bukan gue pelakunya."

"Salsha, udah." Steffi mengeluarkan suaranya, "Jangan ganggu Aldi dulu. Dia lagi kacau. Nanti aja kalo dia udah tenang, yaa." bujuk Steffi.

Salsha menggeleng, ia menatap Aldi sendu, "Lo nggak mau ngomong lagi sama gue?"

Iqbaal yang tak sengaja melihat kejadian itu dari jauh pun mendekat. Ia merangkul bahu Salsha untuk membuat Aldi cemburu. Sepertinya, ia ingin bermain-main sedikit dengan Aldi.

"Wahh, gue baru tau kalo mantan sahabat gue ini anaknya Napi. Hebat ya lo, bisa viral disekolah ini." kekeh Iqbaal. Ia tersenyum sinis menatap Aldi.

Aldi mengepalkan tangannya dan menatap Iqbaal tajam. Tubuhnya selalu bereaksi saat ada orang lain yang membahas tentang masalah keluarganya, "Diam lo!" desis Aldi tajam.

"Kasihan ya hidup lo. Lo sama bokap lo sama-sama menjijikkan." ujar Iqbaal sembari mengangkat sebelah alisnya, menggoda Aldi.

Aldi semakin mengepalkan tangannya. Ia ingin menghajar mulut sialan Iqbaal jika saja Andirah tak mengusap bahunya dan berkata, "Jangan kepancing. Sabar, Ald. Tahan emosi lo."

Andirah  menatap Iqbaal tajam. Ia muak dengan sikap sok polos lelaki itu. Lelaki yang sangat pintar bersandiwara, "Lebih menjijikan lagi orang yang menghalalkan segala cara demi dapatin apa yang dia mau. Orang yang bisanya cuma ngadu domba! Dapetin cewek kok dari hasil ngadu domba. Banci kali, ahh."

HURT (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang