Mellina membuka pintu kamar Aldi. Sudah pukul tujuh pagi tetapi lelaki itu belum juga keluar dari kamarnya. Biasanya, sebelum pukul tujuh, Aldi sudah berada di meja makan untuk sarapan kemudian berangkat ke sekolah. Pagi ini terasa berbeda, dan Mellina akan mengecek keadaan Aldi dikamarnya.
Mellina menggelengkan kepalanya saat melihat Aldi masih meringkuk dikamarnya. Mellina kemudian mendekat. Ia duduk di pinggir kasur Aldi. Ia mengusap kepala Aldi berniat membangunkan anaknya itu. Namun ada yang aneh, suhu tubuh Aldi panas. Aldi demam.
"Aldi, kamu kenapa, nak." panggil Mellina. Ia khawatir. Aldi sangat jarang sakit. Bahkan demam seperti ini sangat jarang menimpa Aldi.
Aldi tak menyahut. Tubuhnya bergetar hebat. Aldi menarik selimutnya dan meringkuk kedinginan dibawah selimut itu. Keadaan Aldi yang lemah seperti ini membuat Mellina takut, takut terjadi sesuatu kepada Aldi.
"Kamu kenapa, sih, nak." lirih Mellina.
Tak mau menunggu lama lagi, Mellina memilih menelfon dokter umum yang biasa datang kerumah jika keadaannya drop.
Selang berapa lama, akhirnya dokter tersebut datang dan segera mengecek keadaan Aldi. Mellina harap-harap cemas ditempatnya. Hingga setelah selesai diperiksa, Mellina langsung bertanya ada apa dengan Aldi.
Dokter tersebut mengatakan jika Aldi hanya kecapekan dan banyak pikiran. Tak ada masalah serius yang mengganggu kesehatan Aldi. Mellina pun mempersilahkan dokter itu untuk pulang.
Selepas kepergian dokter tersebut, Mellina mendekati Aldi. Ia mengusap kepala Aldi yang kini masih tertidur. Tubuh Aldi masih panas. Mellina menangis, ia merasa gagal menjadi Ibu yang baik pada Aldi.
Sejak kecil Aldi tidak pernah merasakan kasih sayang dari Papanya. Lelaki itu jarang pulang, sekalinya pulang hanya melakukan kekerasan kepada Mellina di depan Aldi. Sampai Aldi sekolah dasar pun ia jarang bertemu dengan Papanya. Kadang lelaki itu bertanya kepada Mellina yang hanya di jawab Mellina dengan tidak tahu.
Saat Aldi memasuki sekolah menengah pertama, kejadian naas itu terjadi. Papanya datang dan langsung menyerang Mellina, ntah apa yang terjadi. Bahkan Papanya hampir membunuh Mellina. Aldi yang melihat kejadian itu tepat didepan matanya jelas tak terima. Ia segera menolong Mellina, menjauhkan Mamanya dari jangkauan Papanya yang mabuk berat.
Kejadian itu membuat Aldi melaporkan Papanya ke penjara. Bayangkan bagaimana hancurnya perasaan Aldi saat itu. Ia harus mencobloskan Papanya sendiri ke penjara. Mama Steffi yang juga saudara Papanya jelas tidak terima. Ia tidak terima jika abangnya di penjara. Semua itu bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Dan saat itulah, terjadi perpecahan antara keluarga Aldi dan juga Steffi.
Mellina menangis membayangkan kejadian itu. Apalagi di tambah dengan perubahan sikap Aldi yang semakin aneh. Sekarang lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktunya dikamar. Ntah apa yang Aldi lakukan disini, untuk makanpun Aldi jarang. Aldi juga tak pernah lagi pamit keluar untuk nongkrong dengan temannya. Jika Mellina bertanya tentang keadaannya, Aldi hanya menggeleng dan mengatakan semua baik-baik saja. Namun Melinna tahu, keadaan Aldi sedang tidak baik-baik saja.
"Selama ini kamu udah menderita akibat masalah, Mama. Dan Mana janji, akan ngelakuin apapun supaya kamu bisa bahagia."
****
Andirah menatap kursi disebelahnya dengan tatapan kosong. Aldi, teman sebangkunya tidak sekolah hari ini. Tidak biasanya Aldi seperti ini. Jikapun Aldi bolos, ia akan mengatakannya kepada Andirah. Namun kali ini berbeda, tidak ada pesan singkat dari Aldi. Andirah sudah mencoba menelfon lelaki itu, namun nomor Aldi tidak aktif.
KAMU SEDANG MEMBACA
HURT (End)
Ficção AdolescenteSiapa gadis yang tetap setia meski telah di selingkuhi? Siapa gadis yang tetap sabar selalu di caki maki oleh pasangannya sendiri? Siapa gadis yang masih masih bertahan saat pasangannya selalu berusaha membuatnya pergi? Gadis itu adalah Kania Sals...