"Sabrina? Bagaimana? Kamu sudah membujuk teman Kamu itu untuk ikut olimpiade?"Sabrina memperlambat tempo kunyahannya. Bibirnya membentuk senyuman miris. Kenapa ia tidak bisa menebak kalau ayahnya bukan tanpa alasan mengajaknya makan malam bersama secara mendadak seperti ini?
"Belum, Yah." Sabrina menunduk.
Shim membanting sendok dan garpunya di piring hingga menimbulkan suara nyaring yang membuat pelayan-pelayan yang berdiri di sampingnya berjengit kaget. Tak terkecuali Sabrina yang langsung menundukkan kepalanya ketakutan.
"Sabrina masih berusaha buat deketin Aksa, Yah. Gak segampang itu buat maksa seseorang yang bahkan kepala sekolah saja ditolak," Sabrina berusaha menjelaskan.
Shim berdiri dari duduknya, "Jangan lupa, les kesehatan yang jadi jaminannya kalau Kamu gagal." Usai mengatakan itu Shim berjalan meninggalkan meja makan begitu saja.
Dalam diamnya, Sabrina terisak memilukan. Tangis yang tak pernah ia tunjukkan kepada siapapun karena ia tidak ingin dianggap lemah. Pada kenyataannya, ia serapuh itu, bukan?
●●●
Aksa?
Send
Sabrina menggigit bibir bawahnya gelisah. Bagaimana pun juga, ia tidak pernah yang namanya mengirim pesan kepada lelaki duluan. Pasti ia hanya bagian yang membalas. Itu pun juga yang penting-penting saja.
Lama Sabrina menunggu, nyatanya pesan yang ia kirim belum mendapat balasan juga. Dan sama, dibuka saja sepertinya adalah sebuah keajaiban. Ah, mungkin ini karmanya selama ini karena sering mengabaikan pesan orang lain. Tapi, tidak bisa dibilang begitu juga, toh, ia tidak ingin dianggap memberi harapan.
Menghela napas sejenak, Sabrina mengetikkan pesan kembali.
Aksa, maaf ya kalau aku ganggu Kamu.
Aku cuma mau bilang, jangan lupa belajar:)Send
Sabrina meletakkan ponselnya di atas nakas. Lantas meraih selimut dan merebahkan tubuhnya. Ia memejamkan matanya. Sudah tidak sabar untuk menjemput mimpi. Karena nyatanya, mimpi lebih terlihat indah dari kehidupan nyatanya.
●●●
Jika kerjaan Gadis Populer biasanya mangkir di kantin saat pergantian jam, maka absen untuk hari ini. Semuanya sibuk mencatat kembali apa yang baru saja Bu Tina catatkan di papan tulis. Mungkin bagi beberapa murid, mau menyalin catatan ada di list paling bawah dalam hidup mereka.
Dan jika hampir satu kelas sibuk menyalin catatan seperti ini, itu berarti sebelum keluar Bu Tina memberi pesan jika minggu depan buku catatan dikumpulkan. Kalaupun ada yang tetap santai, maka biasanya mereka hanya akan mengambil gambar dan kemudian menyalin di rumah.
"Sab, jangan lo lagi pindah tempat duduk. Apalagi gantinya si Rendy Rendy itu."
Sungutan dari Teresa membuat Sabrina yang duduk di seberang meja kirinya menghentikan tangannya yang sedang sibuk menyalin catatan.
Ia tersenyum tipis kemudian menoleh sebentar, "Kenapa?"
"Ya pokoknya jangan. Gak nyaman aja kalau ada orang lain."
Sabrina mengangguk.
"Halah jangan didengerin omongannya Teresa. Itu cuma alibinya doang. Buktinya dia girang-girang aja kemarin waktu ada Rendy," cibir Alexa yang duduk di samping Sabrina.
Teresa menoleh dengan pelototan mata, ia menunjuk Alexa dengan pulpen yang sedari tadi dia buat untuk menyalin, "Lo ya!? Nyebelin tau gak! Terus girang? Girang pusar lo! Kebakaran jenggot iya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Abisso D'amore [Completed]
FanfictionSeharusnya Sabrina sadar, masuk ke kehidupan lelaki sedingin Aksa sama saja dengan menentang sebuah resiko. Namun, apapun demi mimpinya, begitu dulu prinsipnya. Rela dengan segala konsekuensi, termasuk membiarkan hatinya diam-diam jatuh dalam pesona...