41 | Bujukan

1.1K 62 1
                                    

●●●


Sabrina tidak tahu bagaimana cara pikir ayahnya, menyembunyikan sesuatu hal yang besar dari anaknya dengan dalih tidak ingin membuatnya khawatir. Yang benar saja, justru yang tiba-tiba pingsan tanpa alasan lalu ketika dibawa ke rumah sakit ternyata didiagnosis menderita struk ringan lah yang membuat Sabrina khawatir dan ingin berteriak kesal. Apa-apaan, dia sama sekali tidak tahu, padahal ayahnya beberapa kali pergi ke rumah sakit dengan supir.

"Ayah mau makan apa, biar Sabrina beliin di kantin rumah sakit," ujar Sabrina.

"Ayah mau minta ini sama itu pasti Kamu larang. Jadi, terserah Sabrina aja mana yang terbaik. Beli makanan ringan juga buat Kamu sama Aksa," kata Shim.

"Siap," ucap Sabrina, lalu hilang di balik pintu ruangan Shim dirawat.

Tidak lama kemudian Aksa datang. Lelaki itu baru dari kamar mandi. Datang kesini juga bersama Sabrina. Tanpa bertanya pun Shim tahu jika keduanya sedang menjalin hubungan. Mulai dari tingkah laku sampai tanpa sengaja melirik ponsel Sabrina beberapa waktu lalu saat masih di rumah yang terus berdering dengan kontak bernama Aksayang dengan embel-embel emoticon hati.

"Udah lama sendiri, Om?" Tanya Aksa, menatap ke sekeliling dan tidak menemukan keberadaan Sabrina.

"Kamu, kan, tahu kalau Om udah duda lama," gurau Shim. Keduanya lantas tertawa bersama, meski Shim tahu bukan jawaban itu yang dibutuhkan Aksa.

"Sabrina baru saja pergi ke kantin," ulang Shim.

Aksa mendudukkan diri di sofa. Menaruh kaki kanannya di atas kaki kiri dengan mata menatap ayah dari pacarnya itu lurus. Dari pada menanggapi jawaban Shim, ia lebih tertarik untuk menyenggol topik lain.

"Om, bukannya saya mau ikut campur. Tapi, nggak ada salahnya orang ingin menjadi dokter. Tujuan mereka juga mulia," Aksa menjeda, "Yaitu menyembuhkan orang-orang yang sakit," sambungnya penuh penekanan.

Tidak ada jawaban.

"Bukannya saya mau memaksa atau memengaruhi pikiran Om Shim. Om melarang Sabrina menjadi dokter pasti juga ada alasannya. Saya hanya ingin Om mempertimbangkan, dan tidak terus berpikir bahwa konsekuensi dan tanggungan menjadi dokter sangatlah besar."

Masih tidak ada jawaban.

"Coba kalau di dunia ini nggak ada yang mau jadi dokter, pasti banyak yang bakal kesusahan, mengeluh tidak ada yang bisa diandalkan," ucap Aksa.

Shim mendadak seperti tertampar, tersadar bahwa yang dikatakan Aksa memang ada benarnya. Ia juga lebih banyak mengekang Sabrina. Setiap anak pasti punya impian masing-masing di dalam hidupnya. Shim memang ingin yang terbaik untuk anaknya, tapi ia sebagai orang tua juga tidak boleh egois.

Shim tersenyum, "Kamu benar, Ak. Setelah ini Sabrina pasti senang kalau mendengar Om mengizinkan dia."

●●●

Libur tengah semester menjadi kesempatan Sabrina untuk terus mengontrol kesehatan ayahnya. Selain berpesan kepada Bi Lila untuk memilih makanan yang bergizi dan harus dihindari, mereka juga sering pergi ke rumah sakit untuk mengetahui perkembangan kesehatan ayahnya.

Sabrina juga sering memaksa ayahnya untuk berolahraga bersamanya, bukan olahraga yang berat, hanya berjalan kaki beberapa menit meski sabrina lah yang sering menyerah karena lelah. Mereka tidak melakukannya di luar rumah karena halaman belakang rumah mereka terbilang cukup luas dan cukup untuk digunakan berlari seperti saat ini.

Di saat ayahnya masih semangat berlari sabrina justru lebih memilih duduk berselonjor, meminum air putih yang dibawa Bi Lila sembari mengusap peluhnya.

Beberapa menit kemudian Shim menyusul. Sabrina dengan sigap mengulurkan air yang langsung diterima ayahnya. Shim ikut menselonjorkan kakinya dan mengusap dahinya yang dipenuhi keringat.

"Pagi ini panas banget, ya, Sab," komentar ayahnya.

"Ayah, sih, bangunnya telat," balas Sabrina.

Shim terkekeh. Ia mengusap puncak kepala Sabrina dengan gemas. "Maafin ayah, ya."

Sabrina tersenyum, "Gak pa-pa, Yah. Kalau ayah merasa ada yang sakit atau mau ganti olahraga lain bilang aja sama Sabrina. Sabrina nggak bakal maksa Ayah, kok."

"Iya, Sayang."

Sabrina menegak air minumnya kembali. Sudah lama sekali ia ingin hubungannya dengan ayahnya sedekat ini. Hatinya selalu menghangat, bahkan hanya dengan melihat ayahnya tersenyum ke arahnya dunianya seolah ada yang berubah.

"Yah," panggil Sabrina.

"Iya?" Shim menatapnya.

"Sabrina mau minta tolong satu kali ini aja."

"Boleh. Mau minta tolong apa?"

"Tolong bantu cari Kakaknya Aksa, namanya Kak Bella. Dia pergi dari rumah sejak dua tahun lalu karena ada masalah dengan keluarganya," pinta Sabrina.

"Kalau boleh tahu, masalah apa?" Tanya Shim.

"Sama kayak Aksa, Kak Bella ini juga pintar. Dia berkali-kali ikut olimpiade dan selalu menang. Suatu hari dia kalah, takut orang tuanya kecewa akhirnya Kak Bella nggak pulang sampai saat ini," jelas Sabrina.

"Jadi, itu alasan Aksa menolak ikut olimpiade?" Tebak Shim.

Sabrina mengangguk.

"Baik. Ayah akan menyuruh tangan kanan ayah untuk mencarinya. Kamu tidak perlu khawatir. Tapi, sekali lagi, semuanya butuh waktu."

Sabrina tersenyum lebar, "Makasih, ya, Yah. Jangan bilang-bilang ke Aksa juga."

"Iya. Ini juga sebagai rasa terimakasih karna beberapa kali Aksa sudah membuka pikiran ayah, bahwa yang Ayah pikir baik belum tentu baik, dan yang ayah pikir buruk, belum tentu buruk. Dan juga demi keinginan anak semata wayang ayah ini," Shim mencubit pipi Sabrina gemas, hingga membuat anaknya itu meringis kesakitan sekaligus tertawa.

●●●

Sabrina menutup mulutnya yang menguap lebar dengan satu tangan. Kakinya yang jenjang berjalan menuruni tangga. Matahari sudah seterik ini dan ia baru saja bangun tidur.

Ketika kakinya berada di tangga terakhir, matanya menangkap sosok ayahnya sedang duduk di single sofa dengan tab di tangannya. Beberapa kali ayahnya terpaksa harus mendorong kacamatanya yang melorot. Sabrina tertawa kecil.

"Yah," Sabrina berjalan mendekati ayahnya.

"Baru bangun?"

Sabrina mengiyakan. "Gimana? Ayah udah dapat kabar tentang Kak Bella?"

"Belum."

Sabrina mengangguk mengerti. "Ayah, nanti sore Aksa mau jemput Sabrina."

"Mau keluar, ya? Hati-hati," pesannya.

"Iya."

"Ayah udah minum obat?" Tanya Sabrina.

"Belum. Nunggu Kamu turun dulu buat sarapan bareng, baru ayah minum obat," Shim meletakkan tabnya lalu melepas kaca matanya.

Keduanya lantas berjalan menuju ruang makan. "Bi Lila masak apa, ya, hari ini?" Sabrina terlihat berpikir.

"Ayah juga nggak tahu. Coba kita lihat dulu."

●●●

Dikit ya😅

Jan lupa klik tombol bintang bawah pojok, cus ke chapter selanjutnya💛

Abisso D'amore [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang