31 | Rindu

1K 61 1
                                    

Tidak ada yang salah dengan mengenang sesuatu yang sudah berlalu, tetapi jangan sampai terus larut dalam jurang kerinduan...
Bahkan kesedihan.

●●●

         Dengan lesu Sabrina berjalan menuruni tangga. Moodnya masih belum membaik hingga saat ini. Seperti ada beban yang menggandoli pundaknya. Pikirannya pun ikut main, sehingga membuatnya ingin meledak saja.

Ia berhenti di undakan tangga terakhir ketika matanya melihat Bi Lila sedang sibuk membuat agar-agar di dapur untuk stok kulkas. Ia menggerakkan bibirnya, mencari sebuah ide. Karna tidak adanya ayahnya di rumah seperti saat ini adalah hal yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Iseng, ia hampiri asisten rumah tangganya itu.

Bi Lila merekahkan senyumnya melihatnya. "Non Sabrina mau agar-agar, ya? Ini masih Bibi buat. Tunggu sebentar lagi, ya," ujarnya.

Sabrina tak menjawab apa-apa. Ia melipat tangannya di depan dada dengan tubuh yang ia sandarkan di sisi meja. Melihat seberapa lihainya Bi Lila membuat makanan. Namun, bukan itu tujuan Sabrina ke dapur.

"Bi Lila, please kali ini aja jangan bohong kalau sabrina tanya, Sabrina tahu Bi Lila udah kerja sama Ayah Bunda sejak Sabrina masih dalam kandungan." sesaat setelah Sabrina bersuara, gerakan tangan Bi Lila yang sedang mengaduk agar-agar terhenti. Namun, tetap saja perempuan paruh baya itu tidak menoleh.

"Sabrina udah capek dibutain sama masalalu. Kalaupun benar Sabrina pernah kecelakaan dan amnesia, oke Sabrina gak bakal berusaha buat mengingat semuanya. Tapi, kalau kalian semua diam kayak gini, itu malah membuat Sabrina penasaran. Dan tanpa Sabrina sadari, Sabrina rela baik-baikin Kak Fara. Bodoh kalau Sabrina mudah percaya gitu aja sama Kak Fara, dan alasan Sabrina ngelakuin itu semua cuma satu, karna Sabrina udah pengap sama semua," Sabrina menjeda. Menunggu respon dari Bi Lila, namun hanya keheningan yang tercipta. Sabrina pun meneruskan. Ia sangat berambisi untuk mengeluarkan apa yang dirasakannya selama ini.

"Di saat di ujung sana ada seseorang yang berhasrat ingin mengungkap semua rahasia masalalu Sabrina, Sabrina juga capek disuruh jalan sendiri di jalan yang gelap tanpa arah, cuma teka-teki. Mau sampai kapan kalian tega kayak gitu? Sabrina cuma pengen mastiin kalau tebakan Sabrina benar, bahwa Sabrina pernah punya masalalu yang kelam, meskipun dengan mengambil jalan berbahaya sekalipun," jelas Sabrina.

Sabrina kira ia tetap akan mendapat jawaban berupa keheningan lagi, namun tanpa bisa ditebak tiba-tiba Bi Lila mematikan kompor sembari melepas celemeknya dan ketika berbalik langsung memeluknya erat. Sabrina membalas pelukan hangatnya tanpa ragu.

"Bukannya kami tega, tapi karena kami takut, takut kamu akan terus berlarut dalam kesedihan jika Kamu ingat ibumu," bisik Bi Lila.

Keduanya melepas pelukan. Meski tidak mengeluarkan air mata, tapi, Sabrina bisa melihat jika mata Bi Lila memerah seperti menahan tangis. Sabrina jadi sedikit merasa bersalah.

"Lalu kalian semua membuang foto Sabrina bersama Bunda, agar Sabrina enggak tahu? Gak mungkin Sabrina gak pernah foto sama Bunda," selidik Sabrina.

"Kami tidak membuangnya. Ayah kamu yang menyimpan."

●●●

Hendel pintu kamar satu-satunya gadis yang tinggal di rumah besar itu terbuka perlahan, kakinya yang terbungkus sendal rumah berbulu perlahan keluar kamar dengan tuannya yang hanya memakai piyama.

Ia melirik jam dinding di kamarnya kembali, memastikan bahwa ayahnya memang sudah pulang ke rumah. Begitu sudah yakin, Sabrina turun ke lantai satu untuk menuju kamar ayahnya. Ia ketuk pelan pintu dengan cat warna cokelat kehitaman itu, berbeda dengan pintu kamarnya yang berwarna putih senada dengan warna dinding.

Abisso D'amore [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang