33 | Dari Siapa?

1K 58 0
                                    

          Jam menunjukkan pukul delapan malam saat Sabrina menginjakkan kakinya ke dalam dapur. Ia mengernyit, tidak biasanya Bi Lila mematikan lampu dapur seawal ini. Dapur juga sudah dirapikan, yang seperti ini biasanya baru Sabrina lihat saat jam sudah menunjukkan pukul 10.00 pm.

Ia berjalan menuju kamar Bi Lila di pojok, dekat pintu menuju halaman belakang. Meski ragu karena takut mengganggu Sabrina tetap nekat mengetuk pintu di hadapannya.

Tak lama kemudian pintu terbuka, menampilkan ART-nya yang tampak pucat. Sontak saja Sabrina melebarkan matanya dan spontan memegang kedua lengan Bi Lila dengan kedua tangannya karena panik. Ia jarang melihat Bi Lila jatuh sakit.

"Bibi kenapa?"

Bi Lila tersenyum lemah. "Bibi baik-baik aja, Non."

"Bohong," tukas Sabrina. "Bibi sakit? Kenapa nggak bilang Sabrina? Udah minum obat?"

Bi Lila tersenyum, bahkan sempat tertangkap jika bibinya itu juga terkekeh pelan. "Besok juga udah baikan kok, Non."

"Enggak." Sabrina memegang kening Bi Lila. Terasa panas. Sepertinya Sabrina tahu obat apa yang perlu ia cari.

"Bi Lila terusin istirahat aja di dalam. Biar Sabrina cari obatnya di ruangan penyimpanan obat keluarga. Nanti Sabrina ke sini lagi."

Sabrina tahu betul bibinya itu jarang menolak demi menghargai orang lain, maka sesuai dugaan, Bi Lila menuruti sarannya dan menutup pintu kamarnya kembali.

Sabrina berjalan menuju ruangan di mana isinya hanya berisi alat-alat kesehatan dan obat-obatan. Berhubung di rumah ini ia adalah anak semata wayang, dari dulu ayahnya akan selalu panik jika ia jatuh sakit. Maka untuk pertolongan cepat, beliau menyiapkan khusus ruangan berbau obat-obatan ini.

Sayangnya setelah hampir lima belas menit mencari ia tidak menemukan satupun obat penurun panas. Ah, ia baru ingat. Mereka memang sudah kehabisan obat penurun panas sejak dua bulan yang lalu.

Beberapa saat kemudian...

"Non Sabrina mau kemana malam-malam begini?"

Sabrina yang sudah duduk di atas jok motor maticnya dan juga helm di kepalanya terpaksa harus mengurungkan niat tangannya yang sudah siap menarik gas hanya karena Pak Fandi yang malah bertanya bukannya langsung membuka gerbang rumahnya

"Mau ke apotik, Pak. Cari obat buat Bi Lila."

"Nggak mau diantar saja, Non? Atau salah satu dari kami saja yang keluar membelikan," tawarnya.

Sabrina menolak mentah-mentah tawaran tersebut. "Sabrina bawa ponsel kok, Pak. Mau keluar cari angin juga ini."

Mendengar nada kesal dari anak majikannya membuat Pak Fandi buru-buru membuka pintu gerbang dengan pasrah. "Hati-hati, Non."

"Pasti, Pak," balas Sabrina.

Jarak antara rumah dengan apotik tidak bisa dibilang dekat, apalagi ia juga jarang keluar malam-malam seperti ini, pantas jika satpamnya khawatir. Sabrina berani bertaruh, jika Bi Lila juga tahu apa yang ia lakukan sekarang ini, pasti lah ia dilarang mati-matian untuk pergi.

Usai mendapatkan apa yang diinginkannya, Sabrina memakai helmnya kembali dan mulai menarik gas motornya. Ia sungguh menikmati jalanan pada malam hari ini, hanya saja ia juga merasa tidak nyaman karena jalanan pun terbilang sepi.

Baru saja pikirannya melayang membayangkan tentang orang yang mengikutinya dan mengintipnya beberapa waktu yang lalu, matanya tanpa sengaja menatap spion motornya. Dan terkejut begitu matanya menangkap sebuah mobil yang sama persis seperti mobil yang mengikutinya beberapa waktu lalu tengah mengikutinya dengan sosok berbaju serba hitam dari balik kemudinya. Sabrina tidak bisa melihat siapa orang itu karena jalanan yang gelap tanpa lampu cukup menghalanginya.

Abisso D'amore [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang