"Mau nemenin gue ke rumah sakit dulu, nggak?"
Sabrina sedikit memajukan wajahnya agar sejajar dengan wajah Aksa. "Iya," jawabnya.
Sabrina diam-diam tersenyum. Ia benar-benar menikmati perjalanan pulang hari ini. Mengenai rumah sakit, sepertinya ia punya firasat bagus kali ini. Suara deru motor dan angin yang membelai pipinya menjadi pelengkapnya.
Beberapa menit kemudian ia dan Aksa sampai di depan ruangan Tante Ambar. Seperti dugaannya, hari ini adalah jadwal Om Tadha menjenguk. Namun, yang tidak ia duga di sini adalah Aksa yang tiba-tiba dengan santainya masuk ke dalam, tanpa ragu sedikit pun, di saat Sabrina belum selesai mengetuk pintu.
Sabrina tersenyum saat melihat Om Tadha dengan hangat menyambut kedatangan mereka. Sabrina bahkan harus menahan diri agar tidak memuji kala Aksa menyalami tangan Om Tadha, selaku ayahnya dengan kedua tangan.
"Kangen sama mama Kamu?" Tanya Om Tadha.
"Nggak juga," Aksa menjawab acuh.
Sabrina bukan cenayang, namun ia tahu betul maksud jawaban lelaki itu. Nggak juga, karna aku juga rindu sama papa, barangkali begitu terjemahan versinya.
Yang terjadi selanjutnya Aksa larut dalam obrolan dengan ayahnya. Sabrina sendiri hanya menimpali seperlunya. Ia tidak ingin merusak suasana hangat antara ayah dan anak yang telah lama dingin itu.
Kurang lebih setengah jam kemudian ayah Aksa pamit untuk pergi setelah mendapat telepon dari atasannya. Sabrina tertawa kecil saat matanya menangkap segaris senyum tipis pada bibir Aksa.
"Jadi... ada yang baikan, nih?" Goda Sabrina.
Aksa menoleh menatapnya, "Berkat Kamu."
"Apa?"
"Gara-gara lo," ketusnya.
Sabrina mati-matian menahan senyumnya, "Kayaknya kamu tadi gak bilang gitu deh."
"Masa?" Lelaki itu malah balik bertanya.
"Iya, coba bilang lagi," pinta Sabrina.
Aksa mengikis jarak di antara mereka. "Mau gue coba ulangi?" Tanyanya.
Sabrina mengangguk antusias.
Aksa menarik salah satu sudut bibirnya, "Ini semua berkat Kamu, Sayang."
●●●
Terhitung sudah lima hari sejak kejadian teror itu, dan selama itu pula Aksa menjemput dan mengantarkannya pulang dari sekolah. Sabrina sudah mengatakan jika ia bisa berangkat sendiri, toh ia juga bisa meminta sopir. Sayangnya Sabrina baru tahu jika lelaki itu cukup protektif mengenai masalah yang menimpanya.
Dan apa boleh buat, Sabrina juga ingin menghargai kekhawatiran lelaki itu. Aksa juga berjanji jika pada suatu waktu dia ada halangan maka lelaki itu harus jujur dan tidak akan memaksakan kehendak untuk terus mengantar jemputnya.
Seperti saat ini, lelaki itu menepati janjinya. Bahwa hari ini Aksa tidak bisa mengantarnya pulang dikarenakan ekskul futsal ada jadwal latihan, dan pemberitahuannya cukup mendadak. Mau menyuruh kedua teman lelakinya untuk mengantar pulang pun ternyata Daffa dan Galen juga bergabung dalam ekskul futsal. Teman-teman Sabrina pun juga sudah pulang dari tadi.
"Aku bisa naik angkot atau taksi, Aksa," jengkel Sabrina.
"Daripada naik begituan mending tungguin gue sampai selesai latihan aja," putus Aksa.
"Ih nggak mau, Aksa. Lama," Sabrina mengerucutkan bibirnya sebal. "Aku telepon sopir rumah aku aja ya kalau gitu."
"Yaudah sana telepon biar gue dengerin."
Sabrina akhirnya memanggil sopirnya juga. Sabrina melirik Aksa, seperti dugaannya, lelaki itu terus mengawasinya sampai teleponnya berakhir.
"Udah, Kamu masuk aja. Biar aku yang nunggu di halte ini sendirian," ujar Sabrina.
"Enggak. Gue tunggu sampai sopir lo datang," final Aksa.
Tahu jika tidak ada gunanya menyanggah, Sabrina pun memilih mengangguk. "Iya, terserah Kamu."
Beberapa menit kemudian sayup-sayup suara derap langkah terdengar dari arah lain. Sontak Sabrina dan Aksa menolehkan kepalanya. Dan mendapati lelaki dari adik kelas mereka sudah siap dengan baju futsalnya.
"Bang, sama Pak Dani Bang Aksa disuruh cepat-cepat ganti baju. Latihan bakalan dimulai sebentar lagi," ujar adik kelasnya itu.
Sabrina kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Aksa. "Udah, Aksa, kasihan mereka nggak latihan-latihan cuma gara-gara nungguin Kamu di sini. Kamu enggak boleh egois sebagai senior," bujuk Sabrina.
Aksa menghela napas gusar. Kalau seperti ini ia sudah tidak bisa menolak. Sabrina yang melihat itu tersenyum tipis.
"Yaudah lo hati-hati."
Itu adalah kata-kata terakhir Aksa sebelum akhirnya berdiri dan beranjak dari sana bersama adik kelasnya tadi.
"Aksa," panggil Sabrina.
Aksa menghentikan langkahnya. Ia menoleh menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Aku... boleh pinjam ponsel Kamu?"
"Buat apa?" Aksa bertanya heran. Tapi, tangannya sudah merogoh-rogoh sakunya
"Buat aku bawa pulang boleh, ya?" Mohon Sabrina.
Aksa menyerahkan ponselnya. "Iya."
Sepeninggal Aksa, Sabrina buru-buru mengeluarkan sim card dari ponsel Aksa, mengirim semua file yang ada pada ponsel lelaki itu ke ponselnya, sampai tidak ada data penting yang tersisa dalam ponsel lelaki itu. Sekali lagi ia pastikan jika semua file pada ponsel Aksa sudah ia pindahkan ke ponselnya. Kemudian ia memasukkan ponsel tersebut ke dalam tasnya. Sedangkan ponselnya sendiri ia taruh di salah satu saku pakaiannya, yang sudah ia pastikan aman.
Sudah lumayan lama sejak kepergian Aksa, tapi sopir rumahnya belum juga datang. Sabrina bergerak gelisah dalam duduknya. Apalagi saat sebuah mobil berhenti tepat di hadapannya. Sabrina masih ingat betul bagaimana tampilan mobil yang selama ini membuntutinya. Dan kali ini Sabrina terpaksa harus melihat mobil itu lagi. Tidak hanya melihat, sepertinya ia pun harus merasakan bagaimana rasanya memasuki mobil misterius itu saat salah satu orang yang tak ia kenal turun dari mobil tersebut dan menyeretnya paksa ikut masuk ke dalamnya.
Sabrina tidak bisa menolak, apalagi berteriak. Karna diam-diam orang tadi menyuntikkan obat bius pada lengannya. Yang Sabrina syukuri sebelum akhirnya kesadarannya hilang adalah ia sempat membuka location pada ponselnya. Dugaannya benar, orang itu menggeledah tasnya untuk mencari ponsel, kemudian membuang ponselnya ke sungai di belakang halte ini agar tidak meninggalkan jejak kepergiannya. Ingatkan Sabrina untuk mengganti ponsel Aksa setelah ini.
●●●
Terimakasih buat yg udah mau baca sampai part ini😄
See you in the next chapter😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Abisso D'amore [Completed]
FanfictionSeharusnya Sabrina sadar, masuk ke kehidupan lelaki sedingin Aksa sama saja dengan menentang sebuah resiko. Namun, apapun demi mimpinya, begitu dulu prinsipnya. Rela dengan segala konsekuensi, termasuk membiarkan hatinya diam-diam jatuh dalam pesona...