-Adhyaksa Andromeda-
Ruangan minimalis penuh kemewahan ini seharusnya diisi dengan kesejukan mengingat AC selalu dinyalakan oleh kepala sekolah.Tapi tidak ketika di dalamnya diisi dua orang lelaki dengan jarak kelahiran yang lumayan jauh sedang adu tatapan tajam. Meski keningnya sudah keriput karena faktor usia, tapi tidak bisa dipungkiri jika kerutan itu spontan dibuat karena kejengkelan akibat ulah seorang murid yang sekarang sedang menatapnya tanpa ekspresi ini.
"Maksud Kamu bagaimana? Olimpiade Kimia sudah menjadi tradisi di sekolah-sekolah, Aksa," Ucap Manto. Tampak kejengkelan masih terpatri jelas di sana.
"Maaf, Pak. Saya menolak." Penolakan sekali lagi dari murid lelaki di hadapannya ini benar-benar membuatnya semakin ingin mengelus dada.
"Aksa, ini adalah kesempatan bagus buat Kamu. Kamu bisa dapat piagam, uang saku, dan nama Kamu, bahkan keluarga Kamu juga akan diangkat menjadi orang yang tinggi derajatnya," Ia masih berusaha meyakinkan.
"Saya tidak membutuhkan itu semua."
"Ini bukan tawaran, Aksa. Ini adalah kewajiban Kamu karena tahun ini di kelas XI hanya nilai raport Kamu yang memenuhi syarat untuk ikut olimpiade. Kamu tahu, kakak kelas Kamu dulu paling rebutan kalau olimpiade semacam ini diumumkan. Mereka berbondong-bondong mendaftarkan diri karena jumlah peserta hanya dibatasi satu dalam satu sekolah,"
Aksa bergeming. Tak berniat menanggapi ataupun menjawab di saat Pak Manto sedang sibuk memijat pangkal hidungnya menunggu respon dari satu-satunya orang yang sedari tadi beliau ajak bicara.
Mengerti bahwa Aksa tidak berniat menanggapi penjelasannya, Pak Manto membuka suara kembali, "Baik. Mungkin Kamu perlu waktu untuk mempertimbangkan. Pikirkan kesempatan ini baik-baik, Aksa. Kamu tidak perlu berpikir lama-lama, karena olimpiade akan dimulai empat bulan dari sekarang."
Tanpa merespon Aksa berdiri dari duduknya kemudian pamit untuk keluar. Pak Manto sendiri yang menjabat sebagai kepala sekolah tak menghiraukan, toh, pasti anak keras kepala itu langsung keluar begitu saja tanpa mau menunggu jawabannya.
Ia menghela napas kasar saat suara pintu tertutup terdengar, "Aksa tidak berubah. Kekhawatiranku selama ini benar-benar menjadi kenyataan. Tidak ada yang bisa mengalahkan nilai kimia Aksa dalam satu tahun. Dan musibahnya, anak itu terlalu tertutup," Keluhnya.
●●●
"Maaf, Pak. Tapi, sepertinya akan susah untuk membujuknya. Apalagi, kita baru kali ini menghadapi hal semacam ini." Meski sudah bisa ditebak berapa selisih umur dua orang lelaki yang sekarang sedang duduk di ruang kepala sekolah ini, Pak Manto tetap menyertakan embel-embel Pak setiap berbicara dengan Pak Shim selaku direktur di sekolah ini.
"Ada apa?" Pak Shim menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa.
"Siswa ini tidak memberikan alasan yang jelas. Sepertinya ada sesuatu yang menghambatnya untuk tidak membeberkan masalah pribadinya." Jawabnya.
"Kamu sudah memastikan kalau Kamu benar-benar sudah maksimal membujuknya?" Pak Shim bertanya santai.
Pak Manto menegakkan tubuhnya, "Saya yakin sudah semaksimal mungkin, Pak. Tapi, tampaknya Aksa sama sekali tidak tertarik. Saya sudah berusaha untuk terus membujuk, tapi, dia hanya diam saja dan tak berniat mempertimbangkan."
"Kamu ada cara lain?"
Pertanyaan Pak Shim membuatnya terpekur, "Kenapa Bapak tidak menyuruh anak Bapak saja untuk membujuk siswa ini?" Usulnya.
"Kamu yakin cara ini akan berhasil?"
"Saya tidak bisa menjamin, Pak. Kita hanya bisa mencoba dan berdoa. Serahkan semua hasilnya pada Yang Di Atas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Abisso D'amore [Completed]
Fiksi PenggemarSeharusnya Sabrina sadar, masuk ke kehidupan lelaki sedingin Aksa sama saja dengan menentang sebuah resiko. Namun, apapun demi mimpinya, begitu dulu prinsipnya. Rela dengan segala konsekuensi, termasuk membiarkan hatinya diam-diam jatuh dalam pesona...