37 | Ditemukan

1K 62 8
                                    

"Ak lo mau ngapain kesini... jangan nekat deh." Aksa menulikan telinganya. Pun mengabaikan Galen yang terus mengejarnya.

Sepertinya ia tidak perlu mengetuk pintu dan basa-basi, karena dari lirikan matanya terlihat jika pintu utama rumah Sabrina sudah terbuka, menampilkan beberapa orang yang sedang duduk di ruang tamu. Mereka, ada Pak Manto selaku kepala sekolahnya, para komite sekolah, dan para petinggi yang tidak diketahui Aksa, termasuk ayah Sabrina, sedang mendiskusikan masalah yang Aksa dengar sewaktu berjalan kemari tadi, namun tidak ada satupun topik yang menyangkut perihal hilangnya Sabrina. Wajah Om Shim pun terlihat ramah dan bahagia, begitupun yang lainnya. Terlihat jelas sekali jika Om Shim sedang berusaha bersembunyi dari masalahnya.

Bukan Aksa namanya jika tidak kurang ajar. Lelaki itu mendekati Om Shim yang sudah berdiri dari duduknya, mengabaikan tatapan orang-orang yang menjurus kepadanya.

"Maaf saya mengganggu. Saya kesini hanya untuk memohon kepada Om Shim, tolong khawatir sedikit saja kepada Sabrina. Om tidak mencoba untuk mencari anak Om sendiri, setidaknya coba untuk meminta bantuan polisi."

Galen melotot, ia menatap Aksa tidak percaya, begitu pula Om Shim. Berbeda dengan orang-orang yang terlibat dalam pertemuan itu, mereka menatap Aksa dengan kebingungan. Tatapan Shim berubah marah, apalagi ketika orang-orang di sana sudah saling berbisik satu sama lain.

"Tidak sopan, ya, Kamu!" Shim menunjuknya. "Ayahnya di sini adalah saya. Sudah jelas saya lebih berhak di atas segalanya dari Kamu. Terserah saya mau bertindak bagaimana. Dan itu tidak ada hubungannya dengan Kamu," nafas Shim naik turun.

Galen melirik Aksa yang sama sekali tidak gentar. Ia ingin membantu Aksa, tapi ia juga takut jika Om Shim malah berakhir membencinya. Sebut saja egois, tidak ada yang lebih baik dari bersikap netral, karena ia tahu, Om Shim pun pasti punya alasan mengapa beliau tidak kunjung bertindak.

"Ini anak Om. Anak satu-satunya yang Om punya. Dan masih bisa dibandingin sama reputasi? Waww, hidup macam apa yang Om jalani ini?" Aksa menaikkan sudut bibirnya.

"Sabrina mungkin ketakutan. Merintih di kegelapan memanggil nama Om. Dan Om malah mengesampingkan anak semata wayang Om demi reputasi," lanjutnya.

Shim mengusap wajahnya kasar. Mendadak hatinya perih membayangkan Sabrina dalam kesendirian yang mencekam. Sudah pasti Sabrina menunggu datangnya bantuan dari dirinya, tapi ia malah mengabaikannya dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Sejujurnya sejak hilangnya Sabrina, ia juga terus berfikir bagaimana cara mencari Sabrina tanpa harus melibatkan orang luar. Ia hanya tidak ingin berita ini bocor ke media dan sekolah yang sudah lama ia naungi menjadi tercemar karena keamanannya.

Shim menghela nafas pasrah. Atas berbagai pertimbangan akhirnya ia mengangguk, menyetujui permintaan laki-laki yang ia ketahui beberapa hari ini sering mengantar jemput Sabrina.

Aksa menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman. Yang tidak ia duga adalah ketika tiba-tiba ayah Sabrina mendekat kemudian memeluknya. Aksa balas memeluk, seraya berbisik pelan. "Sabrina pasti bangga punya ayah seperti Om."

Di lain kasus Galen pasti akan iri ketika melihat Aksa mendapat pelukan langka dari Shim, selaku ayah dari seseorang yang sejujurnya sempat ada di hatinya. Tapi, kali ini ia berjanji akan berterimakasih kepada Aksa, karena terus bersembunyi dari kesalahan adalah hal yang sia-sia kecuali ia bisa mencegahnya.

●●●

Ini sudah menjelang maghrib, dan Sabrina masih terkurung di sini. Ia berdehem, sengaja membuat dua orang lelaki di depan sana menoleh padanya.

"Aku mau ke kamar mandi," ujar Sabrina.

"Yaudah sana. Ngapain pakek izin segala."

Sabrina mendengus, "bukan izin. Tapi, bilang. Kali aja kalian tiba-tiba butuh kamar mandi."

Abisso D'amore [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang