9 | Not A Chance

1.4K 81 1
                                    

"Sab,"

"Hm?" Sabrina mendongak.

"Anak-anak banyak yang bilang kalau Lo punya masalah sama Kak Fara dan teman-temannya itu bener?" Tanya Irene.

"Iya. Kita kemarin juga lihat ayah lo masuk ke ruangan kepala sekolah. Lo kemarin juga dipanggil kesana, 'kan?" Teresa menimpali.

"Bentar-bentar," Dinda mengamati wajah Sabrina dengan teliti. Lantas menyipit.

Sontak Sabrina langsung menundukkan kepalanya. Lebam dan memar di wajahnya belum hilang juga. Dan sampai hari ini, Sabrina masih pandai menyembunyikan semuanya.

"Kenapa?" Alexa bertanya heran.

"Wajah Sabrina kok kayak ada luka bekas pukulan, ya? Kelihatan jelas ada memar merahnya sedikit, sih. Tapi kayak bekas jari."

Perkataan Dinda membuat hati Sabrina sekarang ketar-ketir. Ia pikir memar dan lebamnya sudah tak semencolok kemarin-kemarin makanya ia hari ini tidak memakai krim lagi. Ternyata dugaannya salah.

Sabrina sedikit mendongak dan memberanikan diri menatap teman-temannya yang sudah menatapnya penuh selidik. Jika ia terus menunduk, yang ada teman-temannya akan semakin curiga.

Dua meja yang digabung dengan lima kursi yang sengaja dibuat membundar-kebiasaan gadis populer ketika jamkos berkumpul-ternyata malah lebih menyeramkan daripada dikerubungi jaksa dan hakim. Ya, meski Sabrina bahkan tidak pernah bertemu dengan yang namanya jaksa dan hakim.

"Lo diapain sama gengnya Fara?" Tanya Irene to the point.

Sabrina tersenyum kikuk, "Gak ada apa-apa. Aku gak pa-pa kok."

Alexa menggenggam tangan Sabrina yang berada di atas meja-sedari tadi tampak terus bergerak gelisah. Ia tersenyum simpul, "Kita semua sahabat. Gak ada salahnya kalau kita bisa jadi orang yang bisa meringankan beban lo."

"Iya, Sabrina," Dinda merengek bak anak kecil. Bahkan gadis itu tampak semakin lucu kala bibirnya mengerucut.

"Iya, Sab. Cerita dong," Teresa memasang puppy eyesnya.

Saat itu pula Sabrina menyerah. Dari kejadian yang mengawali berurusannya dia dengan Fara dan teman-temannya sampai Fara berakhir divonis drop out dari sekolah atas perintah ayahnya langsung mengalir dari bibir tipisnya.

Teman-temannya memasang wajah iba bercampur kaget. Merasa menyesal mengapa mereka baru mengetahuinya sekarang.

"Bukannya hari itu Lo ada les kesehatan?" Alexa menopang dagunya.

"Aku bohong. Sebenarnya hari itu jadwalnya les privat Mbak Veny di rumah. Tapi, berhubung ayah ada di luar kota, aku oper jadwalnya. Rencananya aku mau pergi puas-puasin buat les kesehatan. Kalian tahu, kan, kalau ada ayah, durasi les kesehatan aku pasti di pantau biar gak lama-lama,"

"Dan kalau hari itu aku gak oper jadwal les Mbak Veny mungkin aku bakal pulang lebih cepat. Saat itu aku memang masih di kamar mandi sekolah untuk langsung pergi ke les kesehatan. Dan itu tadi, aku udah dicegat sama Kak Fara dan teman-temannya," lanjutnya.

"Ya ampun. Makanya jangan bohong lagi. Sama siapapun apalagi orangtua sendiri," pesan Alexa.

Sabrina tersenyum geli, "Iya."

Sabrina mengalihkan pandangannya dari teman-temannya ke ponselnya di meja yang bergetar. Ada telepon.

"Siapa, Sab?" Tanya Irene.

"Mbak Veny."

"Iya, Mbak?" Sapa Sabrina ke si penelpon.

"Buku bendel contoh soal Fisika punya Mbak ada di Kamu ya? Mbak lupa."

Abisso D'amore [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang