36 | Nekat

967 54 3
                                    

Tenang, renungkan, dan lakukan. Percayalah, semesta tidak akan membiarkanmu tersesat dalam sebuah kebutaan. Karna kita adalah potongan hati yang dipersatukan oleh takdir.

○○○

Perlahan Sabrina mencoba membuka matanya. Rasa pusing seakan-akan bersekongkol untuk menyerang kepalanya. Namun bukan itu yang menjadi fokusnya sekarang. Tapi ruangan tempat ia berbaring sekarang ini. Ia melirik jam dinding, menunjukkan pukul setengah satu siang. Ia masih ingat, kemarin saat di halte ada orang yang berpura-pura duduk di sampingnya dan diam-diam menyuntikkan obat bius pada lengannya.

Dan pelakunya saat ini sedang berdiri di depan pintu menghadapnya dengan satu orang lelaki lain di sampingnya. Sabrina sejujurnya sedikit terkejut saat melihat langsung wajah dua orang yang menculiknya itu. Ia kira lelaki itu seperti preman dan mengerikan. Ternyata mereka seumuran dengannya. Ia yakin, dua orang itu pasti mempunyai tugas menjaga pintu.

"Bangun juga dia," ucap salah satu dari mereka.

Sabrina tidak menghiraukan. Matanya menelisik setiap sudur ruangan ini. Jelas tempat ini bukan gudang, bukan tempat yang kotor, ataupun gelap. Jauh dari itu semua, tempat ini justru lebih mirip hotel. Matanya kemudian jatuh pada tasnya yang tergeletak di lantai. Seolah teringat sesuatu, ia langsung meraba saku tempat ia menyimpan ponsel. Rasanya lega saat mengetahui ponselnya masih ada di sana.

"Ini... hotel?" Tanya Sabrina kepada dua lelaki tadi.

"Ya iyalah. Kurang kaya gimana coba bos kami. Ponsel lo aja gue lempar ke sungai. Kalau bukan karena perintah bos, tuh ponsel udah gue sakuin, tau."

Sabrina mendudukkan diri. Rasa lapar menghampiri, mungkin karena dari kemarin sore ia belum makan. Sabrina menaikkan sebelah alisnya saat salah satu dari mereka berbisik ke satu temannya yang lain. Benar berbisik, namun, Sabrina dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.

"Kasihan, Pel. Kasih aja jatah makan lo ke dia. Ntar punya gue kita bagi. Kalau dia mati, kan, kita juga yang kena."

"Yaudah, lo yang ambil sana."

Sabrina meringis malu lantaran perutnya berbunyi terlalu keras, terbukti dari percakapan mereka. Pikirannya terlalu keras menebak siapa dalang dari ini semua. Pun pipinya memanas tanpa bisa dicegah.

Tak lama setelah itu salah satu dari mereka datang membawa satu bungkus nasi bantingan. Meski ragu, Sabrina tetap melahapnya sampai tandas.

"Lo nggak penasaran kenapa lo dibawa kemari?"

Kedua alis Sabrina terangkat. Dari lubuk hatinya ia tidak bisa menampik jika ia juga penasaran. Tapi, apapun jawabannya ia tidak siap jika harus berakhir ketakutan. Lebih baik ia tidak mengetahui alasannya, dan keluar dari sini dengan hati tenang, bagaimanapun cara keluarnya setidaknya itu tidak akan panik.

Lelaki yang bertanya tanpa ia respon tadi memang mengabulkan keinginannya. Tidak mengatakan yang sejujurnya apa alasan mereka membawanya kesini. Tapi, seringaian yang ditunjukkan lelaki itu selanjutnya membuat Sabrina merasakan firasat yang tidak bagus. Diperkuat dengan ucapan yang Sabrina harap setelah ini tidak akan ia masukkan ke dalam hati.

"Ya, lo, bisa berpikir sendiri lah, ya, apa gunanya hotel buat laki-laki yang menginginkan perempuan."

●●●

"Nggak diangkat, Yah. Ponsel Aksa malah nggak aktif," Aksa mengerang frustasi. Ia menjembak rambutnya sendiri, "Apa Sabrina lagi berusaha nyembunyiin ponselnya dengan menggunakan mode suara hening?" Gumamnya.

Tadha menepuk bahunya pelan. "Sabrina pasti punya alasan kenapa dia pinjam ponsel Kamu. Coba Kamu ingat-ingat apa kira-kira manfaat Sabrina meminjamnya."

Abisso D'amore [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang