Angin berhembus tak santai mengenai wajah gadis yang saat ini tengah menikmati dinginnya malam. Berada di boncengan seorang lelaki yang akan membawanya bertemu lelaki lain.
"Lo pasti seneng banget ya sekarang," ujar lelaki di depannya. Sedikit berteriak agar suaranya tidak terbawa angin.
Sabrina terkekeh malu, wajahnya pun mendadak memerah. "Iyain aja lah, ya. Biar Kamu iri."
Lelaki itu mendengus mendengar jawabannya, "Iya terserah lo aja. Hawanya orang yang mau jadian emang beda ya," sindirnya.
Kali ini Sabrina tertawa. Namun, ia tak berniat menyahut atau menyangkal sindiran lelaki yang menyetir di depannya ini. Biarkan jomblo berimajinasi.
Namun, tak lama setelah itu deringan ponsel di tasnya membuat Sabrina mengernyit menatap layar ponselnya kemudian. Ayahnya menelepon. Sabrina pikir ia tadi sudah izin kepada beliau untuk pergi menemui seeorang. Dengan menekan tombol hijau Sabrina masih berpikir, apa ada yang tertinggal sebelum ia pergi?
"Hallo, Yah?"
Suara panik luar biasa dari seberang menjadi jawaban atas sapaan Sabrina. Tak lama setelah itu tubuh Sabrina turut menegang. Hatinya seperti diremas tak bersisa. Perih...perih sekali. Hingga Sabrina tak mampu berkata-kata dan air mata lah yang mewakili semuanya.
Lelaki yang membonceng Sabrina tampak merasa ada yang tidak beres dengan Sabrina. Lantas menghentikan motornya di pinggir jalan untuk melihat apa terjadi sesuatu.
Baru setelah motor berhenti lelaki itu turun dari motornya dan langsung menghadap Sabrinya yang tangisnya semakin menjadi, tubuhnya bergetar hebat selagi kedua tangannya menutup seluruh wajahnya. Lelaki itu membiarkan saja Sabrina tetap duduk di atas jok motornya. Untung saja saat ini jalanan terhitung sepi.
Paham jika saat ini Sabrina tidak membutuhkan pertanyaan, lelaki itu dengan dengan sigap langsung memeluk tubuh Sabrina. Tak peduli jika hatinya sendiri masih dibuat penasaran, apa yang membuat perempuan di dekapannya ini menangis.
"Sab, udahan nangisnya," bisiknya.
"Bu...bunda..., bunda...meninggal."
Cukup berat bagi Sabrina untuk mengeluarkan pernyataan itu. Mendengar kabar ini saja ia sudah seperti mati rasa.
Lelaki itu mengelus lengannya pelan, namun, tersirat menguatkan.
"Kita pulang sekarang, ya," bisiknya.
Sabrina menggeleng cepat. Di sini ia dan ayahnya sama-sama terpukul. Ia yakin tidak akan mampu jika harus melihat ayahnya terjatuh ke titik paling rendah setelah kehilangan orang yang paling dicintainya. Ia tidak sekuat itu.
"A-aku gak mau pulang," ucap Sabrina terbata, suaranya halus dan pelan--nyaris berbisik.
Lelaki itu tampak berpikir, lantas menyahut, "Mau ke apartement abang gue? Kebetulan beberapa hari ini apartemennya dikosongkan."
Dengan mata sembab memerah akhirnya Sabrina mau melepaskan tangannya dan mendongak menatapnya, "Tapi-"
"Gue tahu lo gak siap buat pulang sekarang. Lo akan semakin gak berdaya sewaktu liat ayah lo hancur di depan mata. Lo mungkin hanya butuh waktu satu atau dua jam-an buat menyiapkan diri. Dan masalah Aksa, dia pasti ngerti kok kenapa hari ini lo gak bisa datang."
●●●
Tak lama setelah itu ia dan Sabrina benar-benar sampai di apartemen abangnya--seperti apa yang ia bilang tadi.
"Lo duduk sini dulu, gue ambilin minum bentar," ujarnya.
Tanpa menjawab Sabrina langsung mendudukkan diri di sofa dekat mereka. Ia tidak bisa menjamin tubuhnya dapat bertahan untuk terus berdiri menopangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abisso D'amore [Completed]
FanfictionSeharusnya Sabrina sadar, masuk ke kehidupan lelaki sedingin Aksa sama saja dengan menentang sebuah resiko. Namun, apapun demi mimpinya, begitu dulu prinsipnya. Rela dengan segala konsekuensi, termasuk membiarkan hatinya diam-diam jatuh dalam pesona...