"Pak, anterin Sabrina ke rumah Aksa, ya." Sembari menunggu Pak Yanto mengeluarkan mobil, Sabrina mencoba mencoba menghubungi Aksa kembali. Sedari tadi ponsel lelaki itu tidak aktif. Namun mau berapa kali pun Sabrina mencoba, hanya suara operator lah yang menjawab.Dari arah lain Pak Fandi datang. "Ini dari Den Aksa tadi sore, Non. Buat Non Sabrina." Sabrina menerima buket bunga dan satu tas kecil, ketika Sabrina meliriknya isinya kotak beludru berwarna biru.
Mungkin ini lah yang menjadi alasan Aksa mematikan ponsel. Lelaki itu kecewa kepada Sabrina.
"Kenapa Pak Fandi baru bilang?" Tanya Sabrina.
"Maaf, Non. Den Aksa bilang, 'kasih kalau dia sudah mau keluar'. Mungkin dia tahu kalau Non Sabrina ada di rumah," jawabnya.
Sabrina menghirup buket bunga di tangannya. Harum, pikirnya. Kemudian tangannya merogoh tas kecil tadi dan mengeluarkan kotak beludru dari dalamnya dan membukanya. Sontak ia menutup mulutnya, tak bisa berkata-kata ketika matanya melihat kotak beludru tadi isinya kalung.
Ketika mobil sudah siap di sampingnya, Shim dari belakang berlari tergopoh-gopoh. Sabrina membalikkan tubuhnya dan menatap ayahnya penuh tanda tanya.
"Siapkan mobil lagi! SEKARANG!!" Sentaknya. Sopir yang lain buru-buru bergegas mengambil mobil lain.
"Ayah kenapa panik?" Tanya Sabrina.
"Ambar kritis," balasnya.
Ponsel Sabrina berdering. Sabrina segera merogoh sakunya, dan teramat lega saat nama Aksa memenuhi layar ponselnya.
"Aksa?" Girang sabrina.
"Maaf, pemilik ponsel ini mengalami kecelakaan motor dengan bis di jalan raya dan mengamalami luka yang sangat parah. Sekarang sedang dilarikan di rumah sakit..."
Sabrina sudah tidak bisa mendengar suara orang di telepon sebab ia menjatuhkan ponselnya tanpa sadar. Linangan air mata jatuh tanpa bisa dicegah. Hatinya mendadak sesak kembali, rasanya seperti terhimpit sesuatu yang kasat mata, namun sangat terasa.
"Sabrina ada apa?" Shim menatapnya khawatir.
"Aksa, Yah. Aksa kecelakaan."
"Dibawa ke rumah sakit mana?"
Sabrina mengusap air matanya, "Rumah sakit yang sama dengan Tante Ambar."
"Ya sudah kita berangkat bersama saja."
Di dalam mobil Sabrina hanya diam memandang kosong jalanan lewat kaca jendela. Pikirannya berkecamuk. Meski ia dan ayahnya baru mendapat kabar baik jika Ambar sudah melewati masa kritisnya, tapi sama sekali tidak membuat hati Sabrina lega. Hanya satu orang di pikirannya, tapi ia tidak tahu bagaimana keadaan Aksa.
Ponsel Shim kembali berbunyi. Tapi tak juga membuat Sabrina untuk sekedar menoleh.
"Apa?!"
Suara terkejut Shim membuat Sabrina menoleh menatap ayahnya. Namun Shim malah memalingkan muka, menghindari tatapannya.
"Kenapa, Yah?" Tanya Sabrina.
Shim tidak menjawab. Menarik tangannya dan memeluknya erat. "Anak Ayah kuat," bisiknya. Sabrina tidak tahu alasannya, tapi air matanya semakin banyak merembes.
●●●
Sabrina mengikuti kemana ayahnya melangkah. "Yah, ini bukan ruangan tempat Tante Ambar dirawat, loh," Sabrina mengingat-ngingat.
Shim tak menjawab. Terus membawa Sabrina sampai di depan ruangan UGD. Sabrina menatap ayahnya bingung, tapi kemudian ia yang membuka pintu di depannya.
Di dalam sana, ada Om Tadha yang sedang memeluk gadis dengan kulit putih cantik yang sedang berdiri menangis tiada henti, itu Bella. Bahkan ketika Sabrina berjalan mendekati mereka, mereka tak menghiraukan keberadaannya.
Kemudian tatapan Sabrina jatuh pada seseorang yang tertutupi seluruh tubuhnya dengan kain putih tengah terbaring kaku di atas brankar.
Sabrina meremas buket bunga di tangannya, "Dia siapa?" Sabrina menunjuk mayat di brankar itu.
Bella melepaskan diri dari ayahnya. Sedangkan Shim dari belakang mendekati anaknya. Sabrina menepis tangan ayahnya.
Sabrina menunjuk mayat itu lagi dengan mata menatap semua orang yang ada di ruangan itu. "Dia siapa?!" Teriaknya.
Tidak ada yang menjawab. Yang terdengar hanya isak tangis.
Sabrina membuang buket bunga di tangannya sampai bunga-bunga di dalamnya berserakan di lantai. Ia mendekati brankar dan mengguncang bahu orang yang terbaring di sana, tangisnya semakin pecah saat ia mengenali bentuk bahu itu.
"Aku gak butuh ini, tolol!! Aku butuhnya Kamu bangun! Aku pengen Kamu bangun!!! Jangan tinggalin aku!!" Sabrina berteriak histeris. Tubuhnya kemudian luruh ke lantai, "Maafin aku," bisiknya.
Shim ikut berjongkok di depan tubuh anaknya. kemudian ia berbisik di telinga Sabrina. "Aksa selamat dari kecelakaan. Temui dia di ruang Anggrek."
●●●
KAMU SEDANG MEMBACA
Abisso D'amore [Completed]
FanfictionSeharusnya Sabrina sadar, masuk ke kehidupan lelaki sedingin Aksa sama saja dengan menentang sebuah resiko. Namun, apapun demi mimpinya, begitu dulu prinsipnya. Rela dengan segala konsekuensi, termasuk membiarkan hatinya diam-diam jatuh dalam pesona...