33. Suasana baru

8 4 0
                                    

Melirih satu per satu jendela kelas yang ia cari di sekolah barunya. Bingung rasanya ingin bertanya namun tidak ada salah satu orang yang ingin ia tanya karena di sekolah singapura berbeda dengan indonesia murid yang sibuk dengan buku-buku tebal di tangannya.
"Jadi ini sebabnya ayah ngirim nazwa ke sekolah ini. Ternyata ini lingkungan yang cocok buat nazwa."

Melanjutkan jalannya walaupun nazwa masih bingung dimana jalan menuju kelasnya.

"Aduhhh kelasnya dimana ya?"

Saat Nazwa bingung untuk menemukan jalan menuju kelasnya.

"Kamu murid baru ya. Dari indonesia kah?" tanya pria sambil menepuk bahu nazwa.

"I....iya, syukurlah ada kamu. Oh iyaa kamu bisa gak anterin nazwa ke kelas." ucap nazwa dengan memegang erat sebelah tali tas di bahu kanannya.

Pria itu memandang wajah Nazwa beberapa menit lamanya. Jantungnya berdebar tak karuan setelah memandang wajah perempuan yang satu ini. Seperti ada yang mengganjal, lalu ia menoleh ke arah lain saat Nazwa membalas tatapannya.

"Boleh,boleh. Kelas berapa?"

"Kelas 12."

"Oh kelas 12. Yaudah aku anterin."

"Makasih."

******

Duduk di bawah pohon rindang sambil menghirup udara segar pagi hari, rasanya sangat menyenangkan. Walaupun suasana baru bagi nazwa, namun hobi membaca bagi nazwa bukanlah hal yang baru itulah aktifitas yang dilakukan nazwa di menit-menit terakhir bel masuk kelas berbunyi.

Tiba-tiba datanglah pria tampan yang menghampiri nazwa,duduk di sebelahnya dengan wajah ramah.

"Boleh kan duduk disini?" ucap pria disebelahnya sambil memamerkan lesung pipinya.

Jantungnya tiba-tiba berdebar sangat kencang tidak seperti biasanya saat ia mendengar suara seorang pria di hadapannya.

"Kok jantung aku jadi berdebar-debar gini ya. Padahalkan aku gak punya keturunan serangan jantung/penyakit jantung, apa ini cuma kebetulan aja ya. Ahh ini bukan saatnya mikirin ini."

"Yaudah deh kalo gak boleh aku ke kelas duluan ya."  dengan kedua tangannya di lutut dan bersiap berdiri dari duduknya.

"Hemm.. Gpp kok."

Pria itu pun memurungkan niatnya untuk meninggalkan Nazwa.

Beberapa menit mereka berdua duduk di bangku yang sama suara kicauan burung taman sekolah yang amat merdu di pagi hari, membuat mereka sangat menikmati indahnya pemandangan. Sama seperti nazwa yang sangat menikmati buku-buku fiksi dan non fiksi yang ia baca.

"Oh iya nama kamu nazwa kan. Dan kamu pasti gak tau nama aku?"

Melirih sesekali ke arah pria di sampingnya yang sangat tampan dibandingkan dengan Ardi, namun saat melirih wajahnya yang amat tampan dan ramah itu. Terlintas dipikiran nazwa dengan sosok pria yang selama ini dirindukannya. Ya. Pria itu adalah Ardi saputra.

"Kamu? Orang yang kemaren anterin aku ke kelas kan?" segera menutup buku miliknya.

"Hahaha iya betul sekali. Baru sadar kamu, padahal kita udah duduk disini beberapa menit."

"Maaf tadi nazwa terlalu fokus baca."

"Iya gpp. Oh iya kenalin nama aku Nadive archandra, panggil aja aku nadive."

"Iya."

"Btw, kamu anak kelas berapa?"

"Kelas 12."

"Oh gitu, jadi kita 1 angkatan ya."

"Ya gitu."

Nadive archandra pria tampan yang memiliki postur tubuh yang kekar, dam memilki lesung pipi di wajah yang ramahnya itu. tak hanya terkenal dengan ketampanan nya nadive juga terkenal dengan segudang prestasi yang dimilikinya. Hampir 180 derajat di bandingkan dengan Ardi yang hanya pintar dalam MATEMATIKA.

"Aku boleh tanya sesuatu?"

"Hemm... Boleh. Nanya aja." ucap nazwa dengan wajah dingin.

"Kenapa kamu pindah ke singapura? Ayahmu bertugas di sini?, padahal sebentar lagi kan lulus."

Nazwa pun tertunduk dengan salah satu pertanyaan yang di lontarkan Nadive kepadanya.

"Kenapa, kamu gak senang sekolah disini?"

"Sebenarnya, sekolah di sini itu bukan kemauan nazwa, ini kemauan ayah. Tapi yang bikin Nazwa sedih Ayah ngirim Nazwa cuma gara-gara gak boleh punya teman laki-laki, ayah juga gak mau liat nazwa jadi orang yang gagal. Itu sebabnya ayah ngirim nazwa ke sini."
Nadive tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya.

"Ayah kamu tuh ya, lucu banget. Baru kali ini aku dengar alasan seperti ini. Jadi apa yang buat kamu gak senang?"

"Bukan itu aja yang bikin nazwa sedih, nazwa juga harus kuliah disini selama 4 tahun, ninggalin semua kenangan bersama teman-teman nazwa."

"Oh jadi itu yang buat kamu sedih."

"Iya."

"Hahaahahaha."

"Kok nadive malah ketawa?"

"Kamu harus tau ini, sebenarnya gak ada orang yang gagal di dunia ini, yang ada itu hanya orang-orang yang cepat menyerah. Jadi kamu jangan sedih kalo kamu dikirim buat sekolah disini. Kamu harusnya bangga dan berfikir positif, mungkin ayahmu hanya ingin membuatmu lebih semangat lagi belajar dengan cara mengirim kamu ke singapura."

Terharu dan hanya bisa membisu dengan semua penjelasan Nadive kepadanya. Detak jantungnya pun semakin berdebar 2 kali lipat lebih kencang dari sebelumnya."

"Liat deh ke atas."  ucap Nadive sambil menggerakkan kepalanya ke atas pohon.

"Kenapa?"  menatap Nadive dengan bingung.

"Kasian jadi pohon, kalo hujan gak bisa neduh."

"Hahahahaha, bisa aja yaa Nadive."

"Nah gitu dong, kan tenang gitu liat cewe senyum tuh."

Nazwa dan Nadive pun tertawa lepas menghabiskan waktu nya berdua di taman sekolah. Walaupun mereka baru saling kenal, rasanya seperti sudah bersahabat. Bagaimana tidak, mereka saling menenangkan satu sama lain,saling curhat di waktu yang dekat.

"Kenapa senyumnya hilang?"

"Nazwa bingung Nadive."

"Bingung kenapa?"

"Ponsel nazwa hilang, dan nazwa bingung gimana caranya bisa kontekan sama teman-teman disana, nazwa bisa aja sih pake ponsel tante tapi nazwa gak berani simpen no teman laki-laki."

Nadive menatap nazwa dengan wajah tenang.

"Hemm.... Gimana kalo kamu kirim surat aja ke teman laki-laki mu."

Nazwa pun membalas tatapan Nadive kepadanya dan tersenyum lebar.

Crazy PeopleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang