KEDUA PULUH EMPAT

28 10 3
                                    

Kak Radit mengikuti sudut mata ku yang teralihkan ke belakang punggung nya. Dia melihat Kak Rendy yang sedang mengatur nafas, lalu pandangan nya melihat ku lagi mengangkat kepalanya dan menyorotkan pandangan yang seolah bertanya 'ada apa ini?'

Bibir ku terbungkam tak bisa mengatakan apa-apa. Ku lihat dua orang laki-laki ini secara bergantian, ku lihat Kak Rendy sudah bernafas secara teratur dan Kak Radit yang menampilkan wajah kebingungan.

Kak Rendy mulai memasang wajah datar nya kembali, Kak Radit mendekat menatap ku intens. Dia bertanya kembali untuk mengubur rasa penasaran nya.

"Kak Radit?"

Aku mulai memberanikan menatap kembali mata Kak Radit, dia tersenyum.

"Kak?"

"Gue udah tahu semuanya, Chika udah bilang tadi ke gue." Ujarnya yang membuat ku tak mengerti apa maksud nya.

"Hah?"

Lalu Kak Radit menjauhiku, berjalan kearah Kak Rendy yang tak pernah beranjak sejak nafasnya sudah normal kembali.

"Ternyata lo nerima tawaran ini, Ren."

Terdengar perbincangan dua orang di depan sana, walau keberadaan nya cukup jauh tapi aku masih bisa mendengarkan nya.

"Gue tertarik."

Kak Rendy menyahuti dan sekilas melihat kearah ku. Apa maksud nya dari kata tertarik?

"Cepet juga lo dalam menentukan keputusan." Balas Kak Radit masih asyik mengajak Kak Rendy bicara.

Yang diajak bicara oleh Kak Radit hanya mengangkat bahunya, entah dia merespon dalam artian apa aku tak tahu karena wajah Kak Rendy tetap datar tak berekspresi.

"Manfaatin sebaik mungkin Ren!" Kak Radit menepuk bahu orang didepan nya. Lalu dia meninggalkan Kak Rendy dan berjalan mendekati ku.

Apa yang sedang aku lihat kini? Dua orang berbicara dihadapan ku tanpa aku tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Aku terus melihat kedalam mata Kak Radit, meneliti bila ada kejanggalan yang aku temukan. Tapi aku hanya melihat sorot mata penuh arti namun aku tak tahu arti dari tatapan itu dan  senyum nya yang terus mengembang.

"Cantik banget sih." Rambut ku berantakan akibat tangan Kak Radit yang mengacak-ngacak nya dengan gemas.

"Gue mau latihan basket dulu ya." Untuk salam perpisahan dari pertemuan dadakan ini Kak Radit menyubit pipi ku.

Dia berlari kecil meninggalkan ku, saat melewati Kak Rendy dia menepuk bahu nya sekali lagi.

"Sukses, Bro!"

Kak Rendy hanya manggut-manggut kecil saat menerima perlakuan Kak Radit. Sepeninggal Kak Radit kini kami saling bertatapan dan menyuguhkan kecanggungan lagi.

Tanpa kami sadari langkah ku dan Kak Rendy saling mendekati. Aku merapatkan kedua tangan agar saling berpegangan untuk menghilangkan kegugupan yang kian merayap. Sedangkan Kak Rendy menggaruk tengkuk kepalanya yang ku yakini tak merasa gatal sama sekali, tapi tidak dengan wajah dingin nya yang menunjukan sikap acuh dan bodoamat pada situasi saat ini.

Setelah menyisakan jarak sekitar 30 cm, aku dapat merasakan badan yang tegap berdiri di hadapan ku. Lagi-lagi Kak Rendy membungkam semua kalimat yang akan aku ucapan. 

"Masih mau disini?" Ku dengar Kak Rendy bertanya dengan nada dingin nya.

Aku tak berani mengangkat kepala ku untuk menatap bola mata cokelat terang itu kembali. Bahkan aku tak menjawab dalam bentuk apapun untuk membalas pertanyaan dari orang yang bertanya pada ku barusan.

The Trouble Of Sunset (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang