Serpihan hati

29.1K 2.8K 200
                                    

Deburan ombak pantai coastal area, membuyarkan lamunanku kala itu. Aku kembali berkutat di meja kasir sambil memeriksa laporan keuangan kedai makan milikku yang telah berdiri dua tahun lamanya. Aku memiliki lima karyawan. Dua di bagian dapur tiga di bagian depan. Mereka adalah karyawan terbaikku. Kedai milikku hanyalah sebuah kedai dengan menu andalan berbagai macam minuman hasil racikanku dan beberapa kudapan yang sangat ramah di kantongku.

Kedaiku ini hanya sebuah kedai sederhana yang berdinding bambu dan beratapkan rumbia. Meski sederhana, omset tiap malamnya lumayan besar apalagi ketika malam minggu. Ketika pagi hingga sore, aku mengabdikan hidupku sebagai pengajar di sebuah sekolah menengah atas di Tanjung Balai Karimun. Penghasilanku sebagai aparatur sipil negara bisa dibilang cukup lumayan. Namun otak bisnisku terus berjalan hingga terciptalah kedai ini.

"Hari ini ramai betul ya Kak. Payah kami nak layan"

"Nape? Mike nak suruh tambah karyawan lagi ke?"

"Tak payah lah Kak. Tambah duit gaji kami je lah"

Gaji mereka termasuk paling tinggi di antara kedai lainnya. Untuk menghindari kecemburuan, aku melarang mereka memberitahukan nominal gaji yang mereka terima setiap minggunya.

Hatiku bernafas lega ketika wajah ceria mereka menerima amplop yang berisi uang lelah mereka seminggu ini. Mereka adalah karyawan sekaligus keluargaku. Mereka lah yang aku punya di tempat yang terasa asing ini.

"Banyak kali, Kak"

"Kakak tak rugi ke?"

"Tak lah. Ini semua rejeki kite. Dah lah. Kita tutup awal ye. Oh ya, esok jangan lupe belanje apa je yang dah habis."

"Siap kak!!"

Malam itu kami tutup lebih awal karena pada hari ini omset kami jauh melebihi target. Aku jadi yang terakhir menutup kedai. Ironis memang melihat kehidupanku sekarang. Ketika keluarga kandungku hidup mewah di kota besar, aku memilih untuk hidup sederhana di sebuah kota kecil yang mungkin tidak semua orang mengenal kota ini. Beberapa bulan yang lalu, aku melihat di salah satu tv swasta acara pelantikan Papa menjadi perwira tinggi. Satu bulan kemudian, Mama dilantik menjadi rektor di universitas tempatnya mengabdi. Dan yang membuat hatiku kembali sakit, kedua orang itu terlihat ada di kedua acara tersebut. Berfoto bersama layaknya keluarga bahagia. Aku tersenyum miris saat itu namun aku tak mau lagi berkubang dalam kesedihan lagi.

Masih teringat dulu ketika lima tahun yang lalu aku datang ke kota ini dengan membawa kehancuran hati dan jiwaku. Begitu berat perjuanganku saat itu dan butuh waktu yang lama untuk bisa berdiri seperti saat ini.

Kedai ini berdiri sejak dua tahun yang lalu dengan modal hasil penjualan gerai souvenirku dan sedikit tabungan yang aku kumpulkan sejak lama. Dari kedai ini, perlahan rasa sakit itu benar benar pudar. Meski hati ku masih tak utuh seperti dulu, namun bersama beberapa karyawanku, aku seperti menemukan kehidupan yang baru.

Hingga tahun kelima aku disini, komunikasi dengan kedua orang tuaku masih terputus. Lebih tepatnya aku sengaja menutup akses komunikasi dengan mereka. Hanya Arjuna yang masih rutin mengirim kabar melalui email. Adikku itu sedang menempuh pendidikan militer Akademi Angkatan Laut di Surabaya. Pagi tadi aku membaca email darinya, bahwa minggu depan dirinya akan dilantik menjadi perwira pertama. Arjuna memintaku untuk datang di acara syukuran yang diadakan oleh Papa dan Mama. Hingga malam tiba, aku belum membalas email tersebut.

Hatiku gamang. Apakah aku sudah siap untuk kembali ke rumah mengingat Papa sendiri secara tidak langsung telah mengusirku dari rumahnya? Hatiku masih sakit jika mengingat kejadian lima tahun yang lalu. Aku belum siap. Ketika jemari tanganku membuka sebuah folder yang ada di laptop, sakit hatiku yang dulu kembali muncul. Di layar laptopku kini, berjejer deretan foto hitam putih yang membuatku sangat membenci mereka.

JANJI SETIA UNTUK ARINITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang