14. Senja Punya Matahari

150 27 3
                                    

Lusa sudah kembali masuk sekolah. Klea pikir, hari saat dirinya dan kawan-kawan berlibur ke Dufan adalah satu-satunya hari berharga selama libur dua pekan. Namun, rupanya tidak karena hari ini adalah hari yang lebih berharga dari hari tersebut. Klea sama sekali tidak menyangka keluarganya akan berlibur dengan keluarga Zekair seperti saat ini. Padahal dulu, hal demikian bisa dibilang merupakan kegiatan rutin di setiap bulannya.

Gadis itu sedang bermain pasir di bibir pantai bersama El sekarang, sementara Zekair duduk pada bagian yang kering dan tidak terkena ombak, mengawasi sang adik dan juga Klea dari kejauhan. Hitung-hitung menunggu matahari yang akan tenggelam dalam hitungan menit.

"Klea!"

"Ha?!" Suara balasan Klea terdengar sedikit keras karena jaraknya dengan Zekair yang tidak begitu dekat. Tanpa menoleh sedikit pun, tangannya masih berkutat membuat sebuah bangunan dari pasir bersama El.

"Ke sini sebentar dong, Kle! Sunset-nya bagus banget. Lagi pula jauh lebih enak dipandang daripada pasir."

"Sunset bakalan kurang bagus kalau nggak dilihat dari pantai!"

"Terus?"

"Ya... pantai kan punya pasir, jadi nggak ada salahnya main pasir."

"Nggak ngerti gue!" balas Zekair disusul tawa kecil dari lawan bicaranya. Klea diam sebentar, mencuci tangannya dengan air laut yang menghampiri sebelum akhirnya berlari kecil mendekat pada Zekair, lalu beringsut duduk di sebelahnya. "Matahari yang terbenam selalu bikin gue ingat tentang satu hal."

"Apa?"

"Bahwa yang cantik, nggak bisa ditemui setiap saat. Dan lo di beberapa bulan ke depan... adalah dia."

Ada beberapa detik yang Klea habiskan tanpa berkata-kata. Kedua netranya pun menatap lamat-lamat pada Zekair yang asyik sendiri memperhatikan matahari di sebelah barat sana, seolah tak sadar ucapannya barusan membuat Klea berpikir berulang kali. "Maksudnya apa, sih? Gue di beberapa bulan ke depan adalah dia, terus─ nggak bisa ditemui setiap saat? Jelasin deh, Je."

Zekair menyeringai, membiarkan keheningan menyelimutinya dan Klea untuk beberapa saat sebelum membalas, "Semalem gue habis debat sama Mama-Papa, Kle. Tahu nggak karena apa? Karena mereka rencananya mau pindah lagi di tahun ajaran baru nanti." Zekair tersenyum tipis dan tak tahu harus berucap apa lagi. Secara mendadak, ia tidak punya keberanian untuk menoleh pada perempuan di sebelahnya. Zekair tidak ingin menyaksikan air muka Klea yang dapat ia pastikan sedang berubah kecewa detik ini juga.

"Maksud lo... ke Amerika lagi?"

"Iya." Zekair terdiam sejenak, membuat Klea akhirnya ikut mengalihkan pandangan ke depan. "Setelah dengar kabar itu, gue minta Mama sama Papa buat ninggalin gue di sini. Gue nggak mau ke sana lagi buat pindah. Tapi, Mama sama Papa nggak ngizinin gue tinggal di sini sendirian." Zekair tak menyangka ucapannya kali ini menggerakan kedua sudut bibir Klea untuk tersenyum.

Perempuan itu menoleh sembari menepuk-nepuk pundak Zekair. "Ya udah, kalau gitu lebih baik lo dengar omongan Mama sama Papa. Wajarlah, yang benar aja Mama sama Papa ninggalin anaknya yang masih sekolah di sini?"

"Lo kok nggak marah, sih?"

"Lo maunya gue nanggapin itu dengan marah? Terus kalau gue marah karena lo mau pindah lagi, lo bakal ngerengek bahkan sampai ngamuk ke Mama sama Papa buat tetap tinggal di sini?" Klea melepas tawa sebentar. "Nggak mungkin, Je," lanjutnya disusul Zekair yang kini diam seribu bahasa. "Gue emang berharap lo nggak bakalan pindah lagi, tapi kalau pada akhirnya lo harus pindah, ya gue nggak bisa ngapa-ngapain. Nggak apa-apa, dengan gue akhirnya tahu siapa nama asli lo, gue seneng banget. Setidaknya kita udah ketemu lagi kayak sekarang. Dan setidaknya, nanti kita bisa kontak-kontakan."

Kisah Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang