22. Satu Hari Baik

138 30 2
                                    

Jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul 6 pagi lewat 58 menit. Entah sudah berapa lama menunggu, yang jelas hanya misuh-misuh yang bisa Klea lakukan sejak tadi, seorang diri.

Bukan, dirinya bukan kepingin marah kepada seseorang yang sedang ditunggunya, melainkan karena Klea tengah berdiri di depan mal yang masih tutup dengan kebaya yang melekat di tubuhnya. Kebaya tersebut memang bukan kebaya mewah bak pengantin, dan Klea akui kebayanya sangat bagus. Tapi, tetap saja Klea malu dengan penampilannya yang terlalu menonjol di saat orang-orang sekitarnya pagi ini berpakaian kasual. Beruntung sekali ia tidak diperintahkan make up dari rumah. Lama-lama Klea marah dengan seseorang yang memilihnya menjadi bapenta.

Klea juga merasa lega karena tadi sang ayah bisa mengantarnya naik mobil. Pasalnya, rok yang ia gunakan adalah rok span bermotif batik dan benar-benar tidak cocok untuk Klea yang ke mana-mana memakai celana. Belum lagi sepatu high heels di kakinya yang menambah beban hidup Klea hari ini.

Sejak tadi Klea hanya menatap jalanan yang masih sepi. Tubuhnya bersandar pada salah satu pilar dengan tangan menggenggam ponsel, menunggu kabar dari Afsa. Ya, perempuan yang Jeff bilang akan menjadi partner Klea selama beberapa jam ke depan hari ini karena juga dipilih menjadi bapenta.

Percayalah, sejak semalam Klea chatting-an dengan Afsa tanpa tahu orangnya yang mana secara langsung. Klea sih sudah melihat fotonya, tapi belum pernah bertemu secara langsung. Atau mungkin sudah, hanya Klea-nya saja yang tidak sadar dan memang tidak ingin tahu tentang orang lain.

"Kleaaa!"

Yang dipanggil mengerjap pelan, kemudian menoleh dan mendapati perempuan dengan kebaya yang sama melekat di tubuh sedang berlari mendekati Klea sembari menjinjing sepatu hak di masing-masing tangannya. Perempuan itu sedang menggunakan sandal jepit. Detik itu pun Klea menyimpulkan bahwa ia adalah Afsa.

"Beneran Klea, kan?"

Klea mengangguk antusias. "Afsa, ya?"

"Iya. Kamu kenapa nggak nunggu di dalam aja?"

"Di dalam? Kan masih tutup?"

"Iya, tapi Kak Ocha udah di dalam, katanya. Di toilet."

"Serius?" tanya Klea dan anggukan dari Afsa membuat bahunya merosot diiringi bola matanya yang berotasi. Tahu begitu, ia langsung masuk saja tadi. Ajakan Afsa selanjutnya membuat Klea mengangguk dan membuntuti kawannya itu. Mereka sampai di toilet perempuan dan mendapatkan Kak Ocha yang sedang memoles lipstick pada bibirnya. Wanita itu tersenyum saat menyadari kehadiran Klea dan Afsa.

"Hei, kalian udah datang."

"Loh, ada kamu, Ci?" Afsa mengernyit mendapati perempuan satu lagi yang sedang menghadap cermin toilet sembari merapikan rambutnya. "Pantesan. Kirain Kak Ocha sendirian di sini."

Klea refleks mengalihkan pandangannya pada perempuan satu lagi yang sebaya dengannya di sana. Ia buru-buru mengukir senyum tatkala perempuan tadi menoleh dan menatap Klea dengan antusias.

"Klea kan, ya?" tanya cewek itu sambil menjulurkan tangannya, "Gue Cia."

"Dacia," sambung Afsa, membuat dua perempuan yang sedang berkenalan itu kompak menoleh. "Namanya Dacia. Bacanya Dasia. Siapa tahu Klea nggak mau manggil kamu Cia? Bisa aja manggil Dasi?" Afsa mengangkat sebelah alisnya pada Dacia sambil terkekeh.

"Jangan, Kle, jangan manggil Dasi." Sang empunya nama yang sedang dibicarakan mendengus sekilas, kemudian kembali memutar tubuhnya untuk menghadap cermin.

Dacia adiknya Kak Jevan, itu yang Klea ingat. Lantas dirinya tersenyum sendiri sambil mengangguk-angguk, mengingat kalimat demi kalimat yang kemarin Jevan ceritakan padanya. Benar saja, perempuan itu tampak terlampau cuek.

Kisah Bulan JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang