"Kalau gue di posisi Zekair, ya gue nggak akan melakukan apa yang dia lakukan. Tapi apa daya, Zekair bukan gue." Jeff berucap santai sambil menaikkan kedua alisnya. Perempuan di seberang jendela kamarnya itu ingin sekali melempar benda apa pun dari dalam kamarnya. "Tapi terbukti kan, gue nggak merencanakan apa-apa sama dia. Maksudnya, nanti kalau Zekair benar-benar nanggapin lo, pasti lo-nya langsung berprasangka buruk kalau gue kerjasama sama Zekair."
Sang lawan bicara hanya mengangguk, membenarkan. Klea sadar, dirinya akan mengira Jeff membicarakan semuanya terlebih dahulu jika Zekair menanggapinya seperti biasa saat di kantin tadi. Tapi, jika seperti tadi pula Klea merasa tidak nyaman. Ah, segalanya serba salah.
"Kepikiran kan, lo? Rasain, tuh. Makanya jangan asal nyuekin orang." Jeff mencibir. "Ya, kurang lebih kayak gitu yang Zekair rasain selama lo menjalankan misi rahasia lo itu." Jeff menyeringai. Sang lawan bicara kali ini tampak benar-benar tidak ingin mengelak, seolah baru sadar kalau yang ia lakukan itu salah.
"Gue harus gimana, Jeff?"
"Minta maaf, dong. Apalagi? Mau makin menjauh?" balas Jeff sambil memakan snack yang sedari tadi dalam genggamannya, tanpa sadar jika perempuan di seberang sana memandanginya dengan mupeng alias muka pengen. "Justru di saat kayak gini, jangan malah bikin lo berdua jauh, Kle. Harusnya lo manfaatin waktu sebaik mungkin sebelum dia pergi."
"Ya udah, besok gue minta maaf, deh." Klea membalas antusias tanpa terlihat ragu sedikit pun dalam sorot matanya. Kemudian, ia tersenyum untuk meyakinkan Jeff yang kini memandangnya dengan tidak percaya.
"Perlu bantuan, nggak?" tawar Jeff dengan seringaiannya.
"Enggak." Klea menggeleng masih dengan senyum yang tertahan di bibirnya. "Gue kekanak-kanakan banget ya masalah ginian? Lo udah banyak gue repotin cuma karena hal yang bahkan berawal dari ego gue sendiri, Jeff. Makasih banyak, loh."
"Gue nggak keberatan selagi masih bisa bantu, Kle." Jeff tersenyum sekilas. Ia melanjutkan kunyahannya sambil menutup stoples makannya. "Mending lo tidur sekarang, dah. Pikirin gimana cara terbaik buat lo minta maaf. Gue juga nggak suka, kali, kalau lo sama dia merenggang begini."
Perempuan di seberang jendela kamar Jeff tersebut hanya mengangguk, untuk kemudian melambaikan tangan dan segera menutup jendela kamarnya tanpa berkata-kata lagi. Hal itu membuat Jeff ikutan menutup jendela kamar beserta gordennya, lantas merebahkan tubuh di atas kasur dan memandang langit-langit kamar.
Jeff selalu berhasil membantu masalah perasaan teman-temannya. Bukan hanya Klea, Kean juga banyak menumpahkan keluh-kesah padanya.
Namun, Jeff lupa akan sesuatu. Jeff lupa bahwa ia tidak pernah berhasil mengurus perasaannya sendiri. Entah itu pada seseorang yang pernah menemaninya semasa sekolah dasar sampai selesainya tahun pertama mengenakan seragam putih abu-abu alias, atau perasaannya pada perempuan yang bahkan tidak menyimpan perasaan padanya sedikit pun.
Malam itu, sosok laki-laki yang terkenal dengan keceriaannya oleh teman sekelas bahkan sampai satu sekolahnya, berhasil meloloskan air mata karena dirinya sendiri yang tidak becus menjaga perasaannya. Jeffara, lelaki itu membiarkan bantal yang menjadi saksi akan isakan hebatnya malam ini. Jeff tidak peduli dengan seseorang yang bilang kalau laki-laki tidak boleh menangis. Ia akan tetap menangis tanpa membiarkan siapa pun menyaksikannya.
∞
"Kurang lebih itu materi Matematika Peminatan yang akan diujiankan besok. Makasih banyak yang sudah menyempatkan waktunya buat ikut tambahan belajar. Langsung pulang dan istirahat, ya. Terima kasih." Kak Ocha menutup kalimatnya dengan sebuah senyuman untuk kemudian bergegas meninggalkan kelas IPS 3, kelas yang digunakan untuk tambahan pelajaran bersama kelas sebelah meskipun tidak semuanya hadir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Bulan Juni
Teen Fiction[COMPLETED] Seusai itu, ada banyak sekali sesuatu dalam dirinya yang membuatku sukar untuk kembali mengenalinya. Waktu demi waktu rupanya terus berlalu, hingga kisah pertemuan bertahun-tahun yang lalu telah berubah menjadi kisah lampau, dan membuat...